Tuesday, December 10, 2013

SISTEM EKONOMI DAN FISKAL PADA MASA PEMERINTAHAN KHULAFAUR RASYIDIN



SISTEM EKONOMI DAN FISKAL PADA MASA PEMERINTAHAN KHULAFAUR RASYIDIN


Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Ekonomi Islam
Dosen Pengampu : M. Arif Hakim, M.Ag



 











Disusun Oleh :
Semester/Kelas : 3D – Kelompok : 2
1.      Imam Junaidi                    210 190
2.      Ahmad Khoirul Badar      210 205
3.      Jamini                               210 217

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH/EI
2011

SISTEM EKONOMI DAN FISKAL PADA MASA PEMERINTAHAN KHULAFAUR RASYIDIN


I.     PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Misi utama kerasulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia. Kepada seluruh umat manusia diminta agar meniru akhlaq dan keluhuran budi Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari agar selamat di dunia dan akhirat.
Mengingat kembali tentang sistem perekonomian di Indonesia yang masih kurang sempurna. Oleh sebab itu, kita sebagai umat Islam harus berusaha meniru sistem perekonomian islam yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
Berdasarkan hal di atas, maka dalam makalah ini akan dijelaskan tentang Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa Pemerintahan Khulafaur Rasyidin secara singkat.

B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah sistem ekonomi dan fiskal pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq
2.    Bagaimanakah sistem ekonomi dan fiskal pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab
3.    Bagaimanakah sistem ekonomi dan fiskal pada masa pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan
4.    Bagaimanakah sistem ekonomi dan fiskal pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib




II.     PEMBAHASAN
A.      Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq
Setelah Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar As-Shiddiq yang bernama lengkap Abdullah ibn Abu Quhafah Al-Tamimi terpilih sebagai khalifah Islam yang pertama. la merupakan pemimpin agama sekaligus kepala negara kaum Muslimin. Pada masa pemerintahannya yang hanya berlangsung selama dua tahun, Abu Bakar As-Shiddiq banyak menghadapi persoalan dalam negeri yang berasal dari kelompok murtad, nabi palsu, dan pembangkang zakat. Berdasarkan hasil musyawarah dengan para sahabat yang lain, ia memutuskan untuk memerangi kelompok tersebut melalui apa yang disebut sebagai Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Setelah berhasil menyelesaikan urusan dalam negeri, Abu Bakar As-Shiddiq mulai melakukan ekspansi ke wilayah utara untuk menghadapi pasukan Romawi dan Persia yang selalu mengancam kedudukan umat Islam. Namun, ia meninggal dunia sebelum usaha ini selesai dilakukan.[1]
Dengan demikian, selama masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq, harta Baitul Mal tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum Muslimin, bahkan ketika Abu Bakar As-Shiddiq wafat, hanya ditemukan satu dirham dalam perbendaharaan negara.[2] Seluruh kaum Muslimin diberikan bagian yang sama dari hasil pendapatan negara. Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum Muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorang pun yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi pada peningkatan total pendapatan nasional, di samping memperkecil jurang pemisah antara orang-orang yang kaya dengan yang miskin.

B.       Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama sepuluh tahun, Umar ibn Al-Khattab banyak melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi Jazirah Arab, sebagian wilayah kekuasaan Romawi (Syria, Palestina, dan Mesir), serta seluruh wilayah kerajaan Persia, termasuk Irak. Atas keberhasilannya tersebut, orang-orang Barat menjuluki Umar sebagai the Saint Paul of Islam[3]
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar ibn Al-Khattab segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh Persia. Administrasi pemerintah diatur menjadi delapan wilayah provinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. la juga membentuk jawatan kepolisian dan jawatan tenaga kerja.[4]
1.    Pendirian Lembaga Baitul Mal
Dalam catatan sejarah, pembangunan institusi administratif Baitul Mal dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Bahrain dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak al-kharaj sebesat 500.000 dirham. Hal ini terjadi pada tahun 16 H.[5] Oleh karena jumlah tersebut sangat besar, Khalifah Umar mengambil inisiatif memanggil dan mengajak bermusyawarah para sahabat terkemuka tentang penggunaan dana Baitul Mal tersebut. Setelah melalui diskusi yang cukup panjang, Khalifah Umar memutuskan untuk tidak mendistribusikan harta Baitul Mal, tetapi disimpan sebagai cadangan, baik untuk keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara maupun berbagai kebutuhan umat lainnya.
Khalifah Umar ibn Al-Khattab juga membuat ketentuan bahwa pihak eksekutif tidak boleh turut campur dalam mengelola harta Baitul Mal. Di tingkat provinsi, pejabat yang bertanggung jawab terhadap harta umat tidak bergantung kepada gubernur dan mereka mempunyai otoritas penuh dalam melaksanakan tugasnya serta bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat.
Untuk mendistribusikan harta Baitul Mal, Khalifah Umar ibn Al-Khattab mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti :
a.         Departemen Pelayanan Militer. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan.
b.         Departemen Kehakiman dan Eksekutif. Bertanggung jawab atas pembayaran gaji para hakim dan pejabat eksekutif.
c.         Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam. Departemen ini mendistribusikan bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti guru dan juru dakwah.
d.        Departemen Jaminan Sosial. Berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang menderita.[6]

2.    Kepemilikan Tanah
Selama pemerintahan Khalifah Umar, wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan banyaknya daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan maupun secara damai. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan baru. Pertanyaan yang paling mendasar dan utama adalah kebijakan apa yang akan diterapkan negara terhadap kepemilikan tanah-tanah yang berhasil ditaklukkan tersebut.
Para tentara dan beberapa sahabat terkemuka menuntut agar tanah hasil taklukan tersebut dibagikan kepada mereka yang terlibat dalam peperangan sementara sebagian kaum Muslimin yang lain menolak pendapat tersebut. Muadz bin Jabal, salah seorang di antara mereka yang menolak, mengatakan, Apabila engkau membagikan tanah tersebut, hasilnya tidak akan raenggembirakan. Bagian yang bagus akan menjadi milik mereka yang tidak lama lagi akan meninggal dunia dan keseluruhan akan menjadi milik seseorang saja.[7]
Mayoritas sumber pemasukan pajak al-kharaj berasal dari daerah-daerah bekas kerajaan Romawi dan Sasanid (Persia) dan hal ini membutuhkan suatu sistem administrasi yang terperinci untuk penaksiran, pengumpulan, dan pendistribusian pendapatan yang diperoleh dari pajak tanah-tanah tersebut.
a.         Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik Muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat sedangkan bagian wilayah yang berada di bawah perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat dialihkan.
b.         Kharaj dibebankan kepada semua tanah yang berada di bawah kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat dikonversi menjadi tanah ushr.
c.         Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan selama mereka membayar kharaj dan jizyah.
d.        Tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang diklaim kembali (seperti Bashra) bila diolah oleh kaum Muslimin diperlakukan sebagai tanah ushr.
e.         Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (satu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.[8]
f.          Di Mesir, berdasarkan perjanjian Amar, setiap pemilik tanah dibebankan pajak sebesar dua dinar, di samping tiga irdabb gandum, dua qist untuk setiap minyak, cuka, madu, dan rancangan ini telah disetujui oleh khalifah.
g.         Perjanjian Damaskus (Syria) berisi pembayaran tunai, pembagian
tanah dengan kaum Muslimin, beban pajak untuk setiap orang
sebesar satu dinar dan satu beban jarib (unit berat) yang diproduksi
per jarib (ukuran) tanah.[9]

3.    Zakat
Pada masa Rasulullah SAW, jumlah kuda di Arab masih sangat sedikit, terutama kuda yang dimiliki oleh kaum Muslimin karena digunakan untuk kebutuhan pribadi dan jihad. Misalkan pada Perang Badar, pasukan muslim yang jumlahnya 313 orang hanya memiliki dua kuda. Pada saat pengepungan Bani Quraisy (5 A.H) pasukan muslim memiliki 36 kuda. Pada tahun yang sama, di Hudaybiyah mereka mempunyai sekitar dua ratus kuda. Karena zakat dibebankan terhadap barang-barang yang memiliki produktivitas, seorang budak atau seekor kuda yang dimiliki kaum Muslimin ketika itu tidak dikenakan zakat.[10]
Pada masa Umar, Gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik sarang lebah tidak membayar ushr, tetapi menginginkan sarang-sarang lebah tersebut dilindungi secara resmi. Umar mengatakan bahwa bila mereka mau membayar ushr sarang lebah mereka akan dilindungi. Namun, jika menolak, mereka tidak akan memperoleh perlindungan. Zakat yang ditetapkan adalah seperduapuluh untuk madu yang pertama dan sepersepuluh untuk madu jenis kedua.[11]

4.    Ushr
Sebelum Islam datang, setiap suku atau kelompok yang tinggal di pedesaan biasa membayar pajak (ushr) jual-beli (maqs). Besarnya adalah sepuluh persen dari nilai barang atau satu dirham untuk setiap transaksi.[12] Namun, setelah Islam hadir dan menjadi sebuah negara yang berdaulat di Semenanjung Arab, nabi mengambil inisiatif untuk mendorong usaha perdagangan dengan menghapus bea masuk antar provinsi yang masuk dalam wilayah kekuasaan dan masuk dalam perjanjian yang ditandatangani oleh beliau bersama dengan suku-suku yang tunduk kepada kekuasaannya. Secara jelas dikatakan bahwa pembebanan sepersepuluh hasil pertanian kepada pedagang Manbij (Hierapolis).[13]
Menurut Saib bin Yazid, pengumpul ushr di pasar-pasar Madinah, orang-orang Nabaeteari yang berdagang di Madinah juga dikenakan pajak pada tingkat yang umum, tetapi setelah beberapa waktu Umar menurunkan persentasenya menjadi 5% untuk minyak dan gandum, untuk mendorong import barang-barang tersebut di kota.[14]

5.    Sedekah dari non-Muslim
Tidak ada ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen; Bani Taghlib yang keseluruhan kekayaannya terdiri dari hewan ternak. Mereka membayar dua kali lipat dari yang dibayar kaum Muslimin. Bani Taghlib merupakan suku Arab Kristen yang gigih dalam peperangan. Umar mengenakan jizyah kepada mereka, tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak membayar jizyah dan malah membayar sedekah.[15]
Nu'man ibn Zuhra memberikan alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan bahwa pada dasarnya tidak bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian mereka menjadi aset negara. Umar pun memanggil mereka dan menggandakan sedekah yang harus mereka bayar dengan syarat mereka setuju untuk tidak membaptis seorang anak atau memaksanya untuk menerima kepercayaan mereka. Mereka setuju dan menerima untuk membayar sedekah ganda.[16]
6.    Mata Uang
Pada masa nabi dan sepanjang masa pemerintahan al-Khulafa ar-Rasyidun, koin mata uang asing dengan berbagai bobot telah dikenal di Jazirah Arab, seperti dinar, sebuah koin emas, dan dirham sebuah koin perak. Bobot dinar adalah sama dengan satu mitstyal atau sama dengan dua puluh qirat atau seratus grains of barky. Oleh karena ltu, rasio antara satu dirham dan satu mitsqal adalah tujuh per sepuluh.[17]

7.    Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara
Seperti yang telah disinggung di muka, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendapatan negara adalah mendistribusikan seluruh pendapatan yang diterima. Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar ibn Al-Khattab mengklasifikasi pendapatan negara menjadi empat bagian, yaitu :
a.         Pendapatan zakat dan ushr. Pendapatan ini didistribusikan di frngkat lokal dan jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan di Baitul Mai pusat dan dibagikan kepada delapan ashnaf, seperti yang telah ditentukan dalam Al-Quran.
b.         Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan kepada para fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang Muslim atau bukan. Dalam sebuah riwayat, di perjalanan menuju Damaskus, Khalifah Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut, Khalifah Umar segera
memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada orang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah dan makanan yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.
c.         Pendapatan kharaj, fai,jizyah, 'ushr (pajak perdagangan), dan sewa tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
d.        Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.[18]

8.    Pengeluaran
Di antara alokasi pengeluaran dari harta Baitul Mal tersebut, dana pensiun merupakan pengeluaran negara yang paling penting. Prioritas berikutnya adalah dana pertahanan negara dan dana pembangunan.[19]
Seperti yang telah dijelaskan, Khalifah Umar menempatkan dana pensiun di tempat pertama dalam bentuk rangsum bulanan (arzaq) pada tahun 18 H, dan selanjutnya pada tahun 20 H dalam bentuk rangsum tahunan (atya). Dana pensiun ditetapkan untuk mereka yang akan dan pernah bergabung dalam kemiliteran. Dengan kata lain, dana pensiun ini sama halnya dengan gaji reguler angkatan bersenjata dan pasukan cadangan serta penghargaan bagi orang-orang yang telah berjasa.
Dana ini juga meliputi upah yang dibayarkan kepada para pegawai sipil. Sejumlah penerima dana pensiun juga ditugaskan untuk melaksanakan kewajiban sipil, tetapi mereka dibayar bukan untuk itu.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah SAW., Khalifah Umar menetapkan bahwa negara bertanggung jawab membayarkan atau melunasi utang orang-orang yang menderita pailit atau jatuh miskin, membayar tebusan para tahanan Muslim, membayar diyat orang-orang tertentu, serta membayar biaya perjalanan para delegasi dan tukar menukar hadiah dengan negara lain. Dalam perkembangan berikutnya, setelah kondisi Baitul Mal dianggap cukup kuat, ia menambahkan beberapa pengeluaran lain dan memasukkannya ke dalam daftar kewajiban negara, seperti memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.[20]
C.      Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun, Khalifah Utsman ibn Affan berhasil melakukan ekspansi ke wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan. la juga berhasil menumpas pemberontakan di daerah Khurasan dan Iskandariah.[21]
Pada enam tahun pertama masa pemerintahannya, Khalifah Utsman ibn Affan melakukan penataan baru dengan mengikuti kebijakan Umar ibn Al-Khattab. Dalam rangka pengembangan sumber daya alam, ia melakukan pembuatan saluran air, pembangunan jalan-jalan, dan pembentukan organisasi kepolisian secara permanen untuk mengamankan jalur perdagangan. Khalifah Utsman ibn Affan juga membentuk armada laut kaum Muslimin di bawah komando Muawiyah, hingga berhasil membangun supremasi kelautannya di wilayah Mediterania, Laodicea dan wilayah di Semenanjung Syria, Tripoli dan Barca di Afrika Utara menjadi pelabuhan pertama negara Islam. Namun demikian, pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan harus menanggung beban anggaran yang tidak sedikit untuk memelihara angkatan laut tersebut.[22]
Khalifah Utsman ibn Affan tidak mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, ia meringankan beban pemerintah dalam hal-hal yang serius, bahkan menyimpan uangnya di bendahara negara.
Dalam hal pengelolaan zakat, Khalifah Utsman ibn Affan mendelegasikan kewenangan menaksir harta yang dizakati kepada para pemiliknya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat. Di samping itu, Khalifah Utsman berpendapat bahwa zakat hanya dikenakan terhadap harta milik seseorang setelah dipotong seluruh utang-utang yang bersangkutan. la juga mengurangi zakat dari dana pensiun.[23]
Memasuki enam tahun kedua masa pemerintahan Utsman ibn Affan, tidak terdapat perubahan situasi ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah Utsman ibn Affan yang banyak telah menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum Muslimin. Akibatnya pada masa ini, pemerintahannya lebih banyak diwarnai kekacauan politik yang berakhir dengan terbunuhnya sang khalifah.[24]

D.      Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintah Khalifah Ali bin Abi Thalib
Masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang hanya berlangsung selama enam tahun selalu diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair ibn Al-Awwam, dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman ibn Affan. Sekalipun demikian, Khalifah Ali ibn Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam.[25]
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, prinsip utama dari pemerataan distribusi uang rakyat telah diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Hari kamis adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari itu, semua penghitungan diselesaikan dan pada hari Sabtu dimulai penghitungan baru. Cara ini mungkin solusi yang terbaik dari sudut pandang hukum dan kondisi negara yang sedang berada dalam masa-masa transisi. Khalifah Ali meningkatkan tunjangan bagi para pengikutnya di Irak.[26]
Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya yang terkenal yang ditujukan kepada Malik Ashter bin Harits. Surat yang panjang tersebut antara lain mendeskripsikan tugas, kewajiban serta tanggung jawab para penguasa dalam mengatur berbagai prioritas pelaksanaan dispensasi keadilan serta pengawasan terhadap para pejabat tinggi dan staf-stafnya; menjelaskan kelebihan dan kekurangan para jaksa, hakim, dan abdi hukum lainnya.[27]

III.     PENUTUP
Kesimpulan
Adapun sistem ekonomi dan fiskal pemerintahan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq antara lain : Zakat, Baitul Mal, Gaji

Adapun sistem ekonomi dan fiskal pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab antara lain : Pendirian Lembaga Baitul Mal, Kepemilikan tanah, Zakat, Ushr, Sedekah dari non-muslim, Mata uang, Klasifikasi dan alokasi pendapatan negara, Pengeluaran

Adapun sistem ekonomi dan fiskal pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan antara lain : Pemasukan negara meningkat, konflik sosial

Adapun sistem ekonomi dan fiskal pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib antara lain : Kesederhanaan, Menolak gaji, Sistem keuangan negara sangat ketat.

Demikian makalah yang dapat kami sajikan. Kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menambah khasanah pengetahuan, manfaat untuk kita semua. Amiiinn..



DAFTAR PUSTAKA

1.        Adimarwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
2.        Adimarwan Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi islam, The International Institute of Islamic Thought (III T), Jakarta, 2001





[1] Adimarwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.54-55
[2] Ibit, hlm.57
[4] Adimarwan Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi islam, The International Institute of Islamic Thought (III T), Jakarta, 2001, hlm. 45
[5] Ibit, hlm. 45
[6] Adimarwan Azwar Karim, Op. Cit, hlm. 61-62
[7] Adimarwan Karim, Op. Cit, hlm. 48-49
[8] Adimarwan Azwar Karim, Op. Cit, hlm.67-68
[10] Adimarwan Karim, Op. Cit, hlm. 50
[11] Adimarwan Azwar Karim, Op. Cit, hlm. 70
[12] Ibit, hlm. 70
[14] Adimarwan Azwar Karim, Op. Cit, hlm. 72
[15] Ibit, hlm. 72
[16] Adimarwan Karim, Op. Cit, hlm. 52
[17] Adimarwan Azwar Karim, Op. Cit, hlm. 73
[18] Ibit, hlm. 74
[19] Ibit, hlm. 74
[21] Adimarwan Azwar Karim, Op. Cit, hlm. 78-79
[23] Adimarwan Karim, Op. Cit, hlm. 58
[24] Ibit, hlm. 59
[26] Adimarwan Karim, Op. Cit, hlm. 60
[27] Ibit, hlm. 61

No comments:

Post a Comment