SISTEM EKONOMI DAN FISKAL PADA MASA PEMERINTAHAN KHULAFAUR RASYIDIN
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Ekonomi Islam
Dosen Pengampu : M. Arif Hakim, M.Ag
Disusun Oleh :
Semester/Kelas : 3D – Kelompok : 2
1. Imam Junaidi 210 190
2. Ahmad Khoirul Badar 210 205
3. Jamini 210 217
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
SYARI’AH/EI
2011
SISTEM EKONOMI DAN FISKAL PADA MASA PEMERINTAHAN KHULAFAUR RASYIDIN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Misi utama kerasulan
Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia. Kepada seluruh umat
manusia diminta agar meniru akhlaq dan keluhuran budi Nabi Muhammad SAW dalam
kehidupan sehari-hari agar selamat di dunia dan akhirat.
Mengingat kembali
tentang sistem perekonomian di Indonesia yang masih kurang sempurna. Oleh sebab
itu, kita sebagai umat Islam harus berusaha meniru sistem perekonomian islam
yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
Berdasarkan hal di
atas, maka dalam makalah ini akan dijelaskan tentang Sistem Ekonomi dan Fiskal
Pada Masa Pemerintahan Khulafaur Rasyidin secara singkat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sistem ekonomi
dan fiskal pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq
2. Bagaimanakah sistem ekonomi
dan fiskal pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab
3. Bagaimanakah sistem ekonomi
dan fiskal pada masa pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan
4. Bagaimanakah sistem ekonomi
dan fiskal pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib
II. PEMBAHASAN
A. Sistem Ekonomi dan Fiskal
Pemerintahan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq
Setelah Rasulullah
SAW wafat, Abu Bakar As-Shiddiq yang bernama lengkap Abdullah ibn Abu Quhafah
Al-Tamimi terpilih sebagai khalifah Islam yang pertama. la merupakan pemimpin
agama sekaligus kepala negara kaum Muslimin. Pada masa pemerintahannya yang
hanya berlangsung selama dua tahun, Abu Bakar As-Shiddiq banyak menghadapi
persoalan dalam negeri yang berasal dari kelompok murtad, nabi palsu, dan
pembangkang zakat. Berdasarkan hasil musyawarah dengan para sahabat yang lain,
ia memutuskan untuk memerangi kelompok tersebut melalui apa yang disebut
sebagai Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Setelah berhasil
menyelesaikan urusan dalam negeri, Abu Bakar As-Shiddiq mulai melakukan
ekspansi ke wilayah utara untuk menghadapi pasukan Romawi dan Persia yang
selalu mengancam kedudukan umat Islam. Namun, ia meninggal dunia sebelum usaha
ini selesai dilakukan.[1]
Dengan demikian,
selama masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq, harta Baitul Mal tidak pernah
menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada
seluruh kaum Muslimin, bahkan ketika Abu Bakar As-Shiddiq wafat, hanya
ditemukan satu dirham dalam perbendaharaan negara.[2]
Seluruh kaum Muslimin diberikan bagian yang sama dari hasil pendapatan negara.
Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum Muslimin mendapat manfaat yang sama
dan tidak ada seorang pun yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut
berimplikasi pada peningkatan total pendapatan nasional, di samping memperkecil
jurang pemisah antara orang-orang yang kaya dengan yang miskin.
B. Sistem Ekonomi dan Fiskal
Pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab
Pada masa
pemerintahannya yang berlangsung selama sepuluh tahun, Umar ibn Al-Khattab
banyak melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi Jazirah Arab, sebagian
wilayah kekuasaan Romawi (Syria, Palestina, dan Mesir), serta seluruh wilayah
kerajaan Persia, termasuk Irak. Atas keberhasilannya tersebut, orang-orang
Barat menjuluki Umar sebagai the Saint Paul of Islam[3]
Karena perluasan
daerah terjadi dengan cepat, Umar ibn Al-Khattab segera mengatur administrasi
negara dengan mencontoh Persia. Administrasi pemerintah diatur menjadi delapan
wilayah provinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina,
dan Mesir. la juga membentuk jawatan kepolisian dan jawatan tenaga kerja.[4]
1. Pendirian Lembaga Baitul Mal
Dalam catatan
sejarah, pembangunan institusi administratif Baitul Mal dilatarbelakangi oleh
kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Bahrain
dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak al-kharaj sebesat 500.000
dirham. Hal ini terjadi pada tahun 16 H.[5] Oleh
karena jumlah tersebut sangat besar, Khalifah Umar mengambil inisiatif
memanggil dan mengajak bermusyawarah para sahabat terkemuka tentang penggunaan
dana Baitul Mal tersebut. Setelah melalui diskusi yang cukup panjang, Khalifah
Umar memutuskan untuk tidak mendistribusikan harta Baitul Mal, tetapi disimpan
sebagai cadangan, baik untuk keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara
maupun berbagai kebutuhan umat lainnya.
Khalifah Umar ibn
Al-Khattab juga membuat ketentuan bahwa pihak eksekutif tidak boleh turut
campur dalam mengelola harta Baitul Mal. Di tingkat provinsi, pejabat yang
bertanggung jawab terhadap harta umat tidak bergantung kepada gubernur dan
mereka mempunyai otoritas penuh dalam melaksanakan tugasnya serta bertanggung
jawab langsung kepada pemerintah pusat.
Untuk
mendistribusikan harta Baitul Mal, Khalifah Umar ibn Al-Khattab mendirikan
beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti :
a.
Departemen Pelayanan Militer. Departemen ini berfungsi untuk
mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam
peperangan.
b.
Departemen Kehakiman dan Eksekutif. Bertanggung jawab atas pembayaran gaji
para hakim dan pejabat eksekutif.
c.
Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam. Departemen ini
mendistribusikan bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta
keluarganya, seperti guru dan juru dakwah.
d.
Departemen Jaminan Sosial. Berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan
kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang menderita.[6]
2. Kepemilikan Tanah
Selama
pemerintahan Khalifah Umar, wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan
banyaknya daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan
maupun secara damai. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan baru. Pertanyaan
yang paling mendasar dan utama adalah kebijakan apa yang akan diterapkan negara
terhadap kepemilikan tanah-tanah yang berhasil ditaklukkan tersebut.
Para tentara dan
beberapa sahabat terkemuka menuntut agar tanah hasil taklukan tersebut
dibagikan kepada mereka yang terlibat dalam peperangan sementara sebagian kaum
Muslimin yang lain menolak pendapat tersebut. Muadz bin Jabal, salah seorang di
antara mereka yang menolak, mengatakan, Apabila engkau membagikan tanah
tersebut, hasilnya tidak akan raenggembirakan. Bagian yang bagus akan menjadi
milik mereka yang tidak lama lagi akan meninggal dunia dan keseluruhan akan
menjadi milik seseorang saja.[7]
Mayoritas sumber
pemasukan pajak al-kharaj berasal dari daerah-daerah bekas kerajaan
Romawi dan Sasanid (Persia) dan hal ini membutuhkan suatu sistem administrasi
yang terperinci untuk penaksiran, pengumpulan, dan pendistribusian pendapatan
yang diperoleh dari pajak tanah-tanah tersebut.
a.
Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik Muslim dan
kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat sedangkan bagian wilayah yang berada
di bawah perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan
kepemilikan tersebut dapat dialihkan.
b.
Kharaj dibebankan kepada semua
tanah yang berada di bawah kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut
memeluk agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat dikonversi
menjadi tanah ushr.
c.
Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan selama mereka membayar kharaj
dan jizyah.
d.
Tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang
diklaim kembali (seperti Bashra) bila diolah oleh kaum Muslimin diperlakukan
sebagai tanah ushr.
e.
Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz
(satu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan asumsi
tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi dikenakan kepada ratbah
(rempah atau cengkeh) dan perkebunan.[8]
f.
Di Mesir, berdasarkan perjanjian Amar, setiap pemilik tanah dibebankan
pajak sebesar dua dinar, di samping tiga irdabb gandum, dua qist
untuk setiap minyak, cuka, madu, dan rancangan ini telah disetujui oleh
khalifah.
g.
Perjanjian Damaskus (Syria) berisi pembayaran tunai, pembagian
tanah dengan kaum Muslimin, beban pajak untuk setiap orang
sebesar satu dinar dan satu beban jarib (unit berat) yang diproduksi
per jarib (ukuran) tanah.[9]
tanah dengan kaum Muslimin, beban pajak untuk setiap orang
sebesar satu dinar dan satu beban jarib (unit berat) yang diproduksi
per jarib (ukuran) tanah.[9]
3. Zakat
Pada masa
Rasulullah SAW, jumlah kuda di Arab masih sangat sedikit, terutama kuda yang
dimiliki oleh kaum Muslimin karena digunakan untuk kebutuhan pribadi dan jihad.
Misalkan pada Perang Badar, pasukan muslim yang jumlahnya 313 orang hanya
memiliki dua kuda. Pada saat pengepungan Bani Quraisy (5 A.H) pasukan muslim
memiliki 36 kuda. Pada tahun yang sama, di Hudaybiyah mereka mempunyai sekitar
dua ratus kuda. Karena zakat dibebankan terhadap barang-barang yang memiliki
produktivitas, seorang budak atau seekor kuda yang dimiliki kaum Muslimin ketika
itu tidak dikenakan zakat.[10]
Pada masa Umar,
Gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik sarang lebah tidak membayar ushr,
tetapi menginginkan sarang-sarang lebah tersebut dilindungi secara resmi. Umar
mengatakan bahwa bila mereka mau membayar ushr sarang lebah mereka akan
dilindungi. Namun, jika menolak, mereka tidak akan memperoleh perlindungan. Zakat
yang ditetapkan adalah seperduapuluh untuk madu yang pertama dan sepersepuluh
untuk madu jenis kedua.[11]
4. Ushr
Sebelum Islam
datang, setiap suku atau kelompok yang tinggal di pedesaan biasa membayar pajak
(ushr) jual-beli (maqs). Besarnya adalah sepuluh persen dari
nilai barang atau satu dirham untuk setiap transaksi.[12]
Namun, setelah Islam hadir dan menjadi sebuah negara yang berdaulat di
Semenanjung Arab, nabi mengambil inisiatif untuk mendorong usaha perdagangan
dengan menghapus bea masuk antar provinsi yang masuk dalam wilayah kekuasaan
dan masuk dalam perjanjian yang ditandatangani oleh beliau bersama dengan
suku-suku yang tunduk kepada kekuasaannya. Secara jelas dikatakan bahwa
pembebanan sepersepuluh hasil pertanian kepada pedagang Manbij (Hierapolis).[13]
Menurut Saib bin
Yazid, pengumpul ushr di pasar-pasar Madinah, orang-orang Nabaeteari yang
berdagang di Madinah juga dikenakan pajak pada tingkat yang umum, tetapi
setelah beberapa waktu Umar menurunkan persentasenya menjadi 5% untuk minyak
dan gandum, untuk mendorong import barang-barang tersebut di kota.[14]
5. Sedekah dari non-Muslim
Tidak ada ahli
kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen; Bani Taghlib
yang keseluruhan kekayaannya terdiri dari hewan ternak. Mereka membayar dua
kali lipat dari yang dibayar kaum Muslimin. Bani Taghlib merupakan suku Arab
Kristen yang gigih dalam peperangan. Umar mengenakan jizyah kepada
mereka, tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak membayar jizyah
dan malah membayar sedekah.[15]
Nu'man ibn Zuhra
memberikan alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan bahwa pada dasarnya
tidak bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian
mereka menjadi aset negara. Umar pun memanggil mereka dan menggandakan sedekah
yang harus mereka bayar dengan syarat mereka setuju untuk tidak membaptis
seorang anak atau memaksanya untuk menerima kepercayaan mereka. Mereka setuju
dan menerima untuk membayar sedekah ganda.[16]
6. Mata Uang
Pada masa nabi dan
sepanjang masa pemerintahan al-Khulafa ar-Rasyidun, koin mata uang asing dengan
berbagai bobot telah dikenal di Jazirah Arab, seperti dinar, sebuah koin emas,
dan dirham sebuah koin perak. Bobot dinar adalah sama dengan satu mitstyal atau
sama dengan dua puluh qirat atau seratus grains of barky. Oleh karena ltu,
rasio antara satu dirham dan satu mitsqal adalah tujuh per sepuluh.[17]
7. Klasifikasi dan Alokasi
Pendapatan Negara
Seperti yang telah
disinggung di muka, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendapatan
negara adalah mendistribusikan seluruh pendapatan yang diterima. Pada masa
pemerintahannya, Khalifah Umar ibn Al-Khattab mengklasifikasi pendapatan negara
menjadi empat bagian, yaitu :
a.
Pendapatan zakat dan ushr. Pendapatan ini didistribusikan di frngkat lokal
dan jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan di Baitul Mai pusat
dan dibagikan kepada delapan ashnaf, seperti yang telah ditentukan dalam
Al-Quran.
b.
Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan kepada para
fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah
ia seorang Muslim atau bukan. Dalam sebuah riwayat, di perjalanan menuju
Damaskus, Khalifah Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita penyakit
kaki gajah. Melihat hal tersebut, Khalifah Umar segera
memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada orang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah dan makanan yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.
memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada orang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah dan makanan yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.
c.
Pendapatan kharaj, fai,jizyah, 'ushr (pajak perdagangan), dan sewa tanah. Pendapatan
ini digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi
biaya operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
d.
Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja,
pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.[18]
8. Pengeluaran
Di antara alokasi
pengeluaran dari harta Baitul Mal tersebut, dana pensiun merupakan pengeluaran
negara yang paling penting. Prioritas berikutnya adalah dana pertahanan negara
dan dana pembangunan.[19]
Seperti yang telah
dijelaskan, Khalifah Umar menempatkan dana pensiun di tempat pertama dalam
bentuk rangsum bulanan (arzaq) pada tahun 18 H, dan selanjutnya pada tahun 20 H
dalam bentuk rangsum tahunan (atya). Dana pensiun ditetapkan untuk mereka yang
akan dan pernah bergabung dalam kemiliteran. Dengan kata lain, dana pensiun ini
sama halnya dengan gaji reguler angkatan bersenjata dan pasukan cadangan serta
penghargaan bagi orang-orang yang telah berjasa.
Dana ini juga
meliputi upah yang dibayarkan kepada para pegawai sipil. Sejumlah penerima dana
pensiun juga ditugaskan untuk melaksanakan kewajiban sipil, tetapi mereka
dibayar bukan untuk itu.
Seperti halnya
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW., Khalifah Umar menetapkan bahwa negara
bertanggung jawab membayarkan atau melunasi utang orang-orang yang menderita
pailit atau jatuh miskin, membayar tebusan para tahanan Muslim, membayar diyat
orang-orang tertentu, serta membayar biaya perjalanan para delegasi dan tukar
menukar hadiah dengan negara lain. Dalam perkembangan berikutnya, setelah
kondisi Baitul Mal dianggap cukup kuat, ia menambahkan beberapa pengeluaran
lain dan memasukkannya ke dalam daftar kewajiban negara, seperti memberi
pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.[20]
C. Sistem Ekonomi dan Fiskal
Pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan
Pada masa
pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun, Khalifah Utsman ibn Affan
berhasil melakukan ekspansi ke wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan
bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan. la juga berhasil
menumpas pemberontakan di daerah Khurasan dan Iskandariah.[21]
Pada enam tahun
pertama masa pemerintahannya, Khalifah Utsman ibn Affan melakukan penataan baru
dengan mengikuti kebijakan Umar ibn Al-Khattab. Dalam rangka pengembangan
sumber daya alam, ia melakukan pembuatan saluran air, pembangunan jalan-jalan, dan
pembentukan organisasi kepolisian secara permanen untuk mengamankan jalur
perdagangan. Khalifah Utsman ibn Affan juga membentuk armada laut kaum Muslimin
di bawah komando Muawiyah, hingga berhasil membangun supremasi kelautannya di
wilayah Mediterania, Laodicea dan wilayah di Semenanjung Syria, Tripoli dan
Barca di Afrika Utara menjadi pelabuhan pertama negara Islam. Namun demikian,
pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan harus menanggung beban anggaran yang
tidak sedikit untuk memelihara angkatan laut tersebut.[22]
Khalifah Utsman ibn
Affan tidak mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, ia meringankan beban
pemerintah dalam hal-hal yang serius, bahkan menyimpan uangnya di bendahara
negara.
Dalam hal
pengelolaan zakat, Khalifah Utsman ibn Affan mendelegasikan kewenangan menaksir
harta yang dizakati kepada para pemiliknya masing-masing. Hal ini dilakukan
untuk mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan
kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat. Di samping itu, Khalifah
Utsman berpendapat bahwa zakat hanya dikenakan terhadap harta milik seseorang
setelah dipotong seluruh utang-utang yang bersangkutan. la juga mengurangi
zakat dari dana pensiun.[23]
Memasuki enam tahun
kedua masa pemerintahan Utsman ibn Affan, tidak terdapat perubahan situasi
ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah Utsman ibn Affan
yang banyak telah menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian
besar kaum Muslimin. Akibatnya pada masa ini, pemerintahannya lebih banyak diwarnai
kekacauan politik yang berakhir dengan terbunuhnya sang khalifah.[24]
D. Sistem Ekonomi dan Fiskal
Pemerintah Khalifah Ali bin Abi Thalib
Masa pemerintahan
Khalifah Ali bin Abi Thalib yang hanya berlangsung selama enam tahun selalu
diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus menghadapi
pemberontakan Thalhah, Zubair ibn Al-Awwam, dan Aisyah yang menuntut kematian
Utsman ibn Affan. Sekalipun demikian, Khalifah Ali ibn Abi Thalib tetap
berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat mendorong peningkatan
kesejahteraan umat Islam.[25]
Pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib, prinsip utama dari pemerataan distribusi uang
rakyat telah diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama
kalinya diadopsi. Hari kamis adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran.
Pada hari itu, semua penghitungan diselesaikan dan pada hari Sabtu dimulai
penghitungan baru. Cara ini mungkin solusi yang terbaik dari sudut pandang
hukum dan kondisi negara yang sedang berada dalam masa-masa transisi. Khalifah
Ali meningkatkan tunjangan bagi para pengikutnya di Irak.[26]
Khalifah Ali
memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan
masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya
yang terkenal yang ditujukan kepada Malik Ashter bin Harits. Surat yang panjang
tersebut antara lain mendeskripsikan tugas, kewajiban serta tanggung jawab para
penguasa dalam mengatur berbagai prioritas pelaksanaan dispensasi keadilan
serta pengawasan terhadap para pejabat tinggi dan staf-stafnya; menjelaskan
kelebihan dan kekurangan para jaksa, hakim, dan abdi hukum lainnya.[27]
III. PENUTUP
Kesimpulan
Adapun sistem ekonomi dan fiskal
pemerintahan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq antara lain : Zakat, Baitul Mal,
Gaji
Adapun sistem ekonomi dan fiskal
pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab antara lain : Pendirian Lembaga
Baitul Mal, Kepemilikan tanah, Zakat, Ushr, Sedekah dari non-muslim, Mata
uang, Klasifikasi dan alokasi pendapatan negara, Pengeluaran
Adapun sistem ekonomi dan fiskal
pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan antara lain : Pemasukan negara
meningkat, konflik sosial
Adapun sistem ekonomi dan fiskal
pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib antara lain : Kesederhanaan, Menolak
gaji, Sistem keuangan negara sangat ketat.
Demikian makalah yang dapat kami
sajikan. Kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan
selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat
dan dapat menambah khasanah pengetahuan, manfaat untuk kita semua. Amiiinn..
DAFTAR PUSTAKA
1.
Adimarwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi 2, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004
2.
Adimarwan Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi islam, The International
Institute of Islamic Thought (III T), Jakarta, 2001
3.
http://www.tipskom.co.cc/2009/09/sistem ekonomi dan
fiskal pada masa pemerintahan khulafaur rasyidin.html (13 September 2011)
No comments:
Post a Comment