HAK MILIK
Makalah
Disusun Guna Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah : Fiqh
Muamalah
Dosen Pengampu : M.
Arif Hakim, M.Ag
Disusun Oleh :
Nama : Ahmad Khoirul Badar
NIM : 210 205
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
KUDUS
JURUSAN SYARI’AH/EI
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Misi utama
kerasulan Muhammad SAW adalah untuk membimbing manusia dalam menjalani
kehidupan sehari-hari. Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan kepada seluruh
umatnya agar memelihara hak antar sesama.
Dalam hak
milik harus dilandasi oleh aspek-aspek keimanan dan moral, serta dijabarkan
didalam aturan-aturan hukum, agar ada keadilan dan kepastian. Benar pernyataan
bahwa hukum tanpa moral dapat jatuh kepada kezaliman, dan moral tanpa
hukum dapat menimbulkan ketidakpastian.
Islam telah
menetapkan adanya hak milik perseorangan maupun kelompok terhadap harta yang
dihasilkan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum syara’. Islam
juga menetapkan cara-cara melindungi hak milik ini, baik melindungi dari
pencurian, perampokan, perampasan yang disertai dengan sanksinya.
Oleh karena
itu, dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai “Hak Milik.”
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang melatarbelakangi
terjadinya hak?
2.
Apa pengertian hak milik?
3.
Bagaimanakah pembagian hak?
4.
Apa yang menjadi sebab-sebab
kepemilikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal-usul Hak
Ketergantungan
seseorang kepada yang lain dirasakan ada ketika manusia itu lahir. Seseorang
hanya ahli dalam bidang tertentu saja, seperti seorang petani mampu (dapat)
menanam ketela pohon dan padi dengan baik, tetapi dia tidak mampu membuat cangkul. Jadi, petani mempunyai
ketergantungan kepada seorang ahli pandai besi yang membuat cangkul. Juga
sebaliknya, orang yang ahli dalam pandai besi tidak sempat menanam padi,
padahal makanan pokoknya adalah beras. Jadi, seorang yang ahli dalam pandai
besi memiliki ketergantungan kepada petani.
Setiap manusia
mempunyai kebutuhan sehingga sering terjadi pertentangan-pertentangan kehendak.
Untuk menjaga keperluan masing-masing, perlu ada aturan-aturan yang mengatur
kebutuhan manusia agar manusia itu tidak melanggar dan memperkosa hak-hak orang
lain. Maka timbullah hak dan kewajiban diantara sesama manusia.[1]
B.
Pengertian Hak Milik
Menurut
pengertian umum, hak ialah:
اِجْتِصَاصٌ
يُقَرِّرُبِهِ الشَّرْعُ سُلْطَةَ أوْتَكْلِيْفَا
Artinya: “Suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’
untuk menetapkan suatu kekuasan atau suatu beban hukum.”
Pengertian hak sama dengan
arti hukum dalam istilah ahli ‘Uşul :
مَجْمُوْعَةُ
الْقَوَاعِدِ وَالنُّصُوْصِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِى تَنْتَظِمُ عَلَى سَبِيْلِ
الإِلْزَامِ عَلاَئِقَ النَّاسِ مِنْ حَيْثُ اْلأَشْخَاصِ وَاْلأَمْوَالِ
Artinya: “Sekumpulan kaidah dan nash yang
mengatur atas dasar harus ditaati untuk mengatur hubungan manusia dengan
manusia, baik mengenai orang maupun mengenai harta.”
Ada juga hak didefinisikan
sebagai berikut:
السُّلْطَةُ
عَلَى الشَّيْئٍ أَوْمَا يَجِبُ عَلَى شَخْصٍ لِغَيْرِهِ
Artinya: “Kekuasaan
mengenai sesuatu atau sesuatu yang wajib dari seseorang kepada yang lainnya.”
Milik
didefinisikan sebagai berikut:
اِخْتِصَاصٌ
يُمْكِنُ صَاحِبُهُ شَرْعًا اَنْ يَسْتَبِدَّ بِالتَّصَرُّفِ وَاْلاِنْتِفَاعِ
عِنْدَ عَدَمِ الْمَانِعِ الْشَرْعِيِّ
Artinya: “Kekhususan
terdapat pemilik suatu barang menurut syara’ untuk bertindak secara
bebas bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang syar`i.”[2]
Apabila
seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara`, orang
tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual maupun akan
digadaikan, baik dia sendiri maupun dengan perantara orang lain.[3]
Islam
juga memberikan batas-batas tentang hak milik agar manusia mendapat
kemaslahatan dalam pengembangan harta tadi dalam menafkahkan dan dalam
perputarannya, yaitu melalui prinsip-prinsip diantaranya:
1. Hakikatnya harta itu adalah milik Allah
SWT.
Firman Allah
dalam surat Al-Hadid ayat 7:
(#qãZÏB#uä
«!$$Î/
¾Ï&Î!qßuur
(#qà)ÏÿRr&ur
$£JÏB
/ä3n=yèy_
tûüÏÿn=øÜtGó¡B
ÏmÏù
( tûïÏ%©!$$sù
(#qãZtB#uä
óOä3ZÏB
(#qà)xÿRr&ur
öNçlm;
Öô_r&
×Î7x.
Artinya: “Berimanlah
kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di
antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang
besar.”
(QS. Al Hadid :
7)
2. Harta kekayaan jangan sampai hanya ada
atau dimiliki oleh segolongan kecil masyarakat
Firman Allah
dalam surat Al Hasyr ayat 7:
!$¨B
uä!$sùr&
ª!$#
4n?tã
¾Ï&Î!qßu
ô`ÏB
È@÷dr&
3tà)ø9$#
¬Tsù
ÉAqߧ=Ï9ur
Ï%Î!ur
4n1öà)ø9$#
4yJ»tGuø9$#ur
ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur
Èûøó$#ur
È@Î6¡¡9$#
ös1
w tbqä3t
P's!rß
tû÷üt/
Ïä!$uÏYøîF{$#
öNä3ZÏB
4 !$tBur
ãNä39s?#uä
ãAqߧ9$#
çnräãsù
$tBur
öNä39pktX
çm÷Ytã
(#qßgtFR$$sù
4 (#qà)¨?$#ur
©!$#
( ¨bÎ)
©!$#
ßÏx©
É>$s)Ïèø9$#
Artinya: “Apa
saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda)
yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di
antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr : 7)
3. Ada barang-barang yang karena dlaruri-nya
adalah untuk kepentingan masyarakat seluruhnya.[4]
Mazhab
Maliki dan Hanafi mengemukakan teori ta`asuf yang didalam penerapannya
terhadap hak milik sebagai berikut:
1. Tidak boleh menggunakan hak kecuali
untuk mencapai maksud yang dituju dengan mengadakan hak tersebut.
2. Menggunakan hak dianggap tidak menurut
agama jika mengakibatkan timbulnya bahaya yang tidak lazim.
3. Tidak boleh menggunakan hak kecuali
untuk mendapat manfaat bukan untuk merugikan orang lain.
4. Tidak boleh menggunakan hak melebihi
aturan syari’ah.
5. Tidak boleh menggunakan hak yang lebih
condong ke madharatnya dari pada manfaatnya.
Hak
yang dijelaskan di atas, adakalanya merupakan sultah dan taklif.
1.
Sultah
terbagi dua, yaitu:
a.
Sultah ‘ala al
nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa,
seperti hak pemeliharaan anak.
b.
Sultah ‘ala
syai’in mu’ayanin ialah hak manusia untuk memiliki
sesuatu, seperti seseorang berhak memiliki sebuah mobil.
2.
Taklif adalah orang yang bertanggung jawab. Taklif
adakalanya tanggungan pribadi (`ahdah syakhşiyah) seperti seseorang
buruh menjalankan tugasnya, adakalanya tanggungan harta (‘ahdah maliyah)
seperti membayar utang.
C. Pembagian Hak
Dalam
pengertian umum, hak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.
Haq mal
ialah:
مَايَتَعَلَّقُ
بِالْمَالِ كَمِلْكِيَّةِ اْلأَعْيَانِ وَالدُّيُوْنِ
Artinya: “Sesuatu yang
berpautan dengan harta, seperti pemilikan benda-benda atau utang-utang.”
2. Haq gairu mal
ialah sesuatu yang berpautan selain harta.
Hak
gairu mal ada dua bagian: haq syakhşi dan haq `aini
a.
Haq syakhşi ialah:
مَطْلَبٌ يُقِرُّهُ
الشَّرْعُ لِشَخْصٍ عَلَى أَخَر
Artinya: “Suatu
tuntutan yang ditetapkan syara’ dari seseorang terhadap orang lain.”
b. Haq ‘aini
ialah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa dibutuhkan orang kedua. Haq ‘aini
ada 2 macam: aşli dan ţab`i.
1) Haq ‘aini aşli
ialah adanya wujud benda tertentu dan adanya şahub al-haq seperti hak milkiyah
dan hak irtifaq.
Macam-macam haq
‘aini ashli sebagai berikut:
a)
Haq al-milkiyah;
hak yang memberikan pemiliknya hak wilayah
b)
Haq al-intifa’
ialah hak hanya boleh dipergunakan dan diusahakan hasilnya.
c)
Haq al-irtifaq
ialah hak memiliki manfaat yang ditetapkan untuk suatu kebun atas kebun yang
lain, yang dimiliki bukan oleh pemilik kebun pertama.
d)
Haq al istihan,
hak yang diperoleh dari harta yang digadaikan
e)
Haq al-ihtibas
ialah hak menahan suatu benda.
f)
Haq qarar (menetap)
atas tanaf wakaf.
g)
Haq al-jiwar
hak-hak yang timbul disebabkan oleh berdempetnya batas-batas tempat tinggal.
h)
Haq syafah atau
haq syurb ialah kebutuhan manusia terhadap air untuk kebutuhan sehari-hari.
Ditinjau dari haq
syurb, air dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
Ø Air umum, misalnya air sungai.
Ø Air ditempat yang ada pemiliknya,
misalnya air sumur.
Ø Air yang dikuasai pemiliknya,
dipelihara dan disimpan disuatu tempat, misalnya air di kendi dan
bejana-bejana.
2) Hak ‘aini thab’i ialah hak
menentukan jaminan yang ditetapkan untuk seseorang yang mengutangkan uangnya
atas yang berhutang.[5]
D. Sebab-sebab Pemilikan
Adapun
faktor-faktor yang menyebabkan harta dapat dimiliki, yaitu:
1. Ikraj al Mubahat,
untuk harta yang belum dimiliki oleh seseorang (mubah)
Untuk memiliki
benda-benda mubahat diperlukan dua syarat, yaitu:
a.
Benda mubahat
belum diikhrazkan (dikelola) oleh orang lain.
b.
Adanya niat
(maksud) memiliki.
2. Khalafiyah,
yaitu bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru bertempat di tempat yang
lama, yang telah hilang berbagai macam haknya.
Khalafiyah
ada dua macam, yaitu:
a.
Khalafiyah
syakhsy ‘an syakhsy, yaitu si waris
menempati tempat si muwaris dalam memiliki harta benda yang ditinggalkan oleh
muwaris, harta yang ditinggalkan oleh muwaris disebut tirkah.
b.
Khalafiyah
syai’an syai’in, yaitu apabila seseorang
merugikan milik orang lain atau menyerobot barang orang lain, kemudian rusak
ditangannya atau hilang, maka wajiblah dibayar harganya dan diganti
kerugian-kerugian pemilik harta. Maka khalafiyah syai’an syai’in ini
disebut tadlmin atau ta’widl (menjamin kerugian).
3. Tawallud min Mamluk,
yaitu segala yang terjadi dari benda yang telah dimiliki, menjadi hak bagi yang
memiliki benda tersebut. Misalnya bulu domba menjadi milik pemilik domba.
4. Karena penguasaan terhadap milik negara
atas pribadi yang sudah lebih dari tiga tahun. Umar r.a. ketika menjabat
khalifah ia berkata,”Sebidang tanah akan menjadi milik seseorang yang
memanfaatkannya dari seseorang yang tidak memanfaatkannya selama tiga tahun.”
Hanafiyah berpendapat bahwa tanah yang belum ada pemiliknya kemudian
dimanfaatkan oleh seseorang, maka orang itu berhak memiliki tanah itu.[6]
Hak milik yang
sempurna dapat beralih dari seseorang pemilik kepada orang lain sebagai pemilik
yang baru, yaitu salah satunya dengan cara :
1.
Jual beli atau tukar
menukar
2.
Hibah
3.
Wakaf
4.
Perkawinan yang sah atau
kekerabatan (hubungan kekeluargaan)
5.
Ashobah `Uhsubah
Sabababiyah, yaitu ahli waris yang terikat oleh `ushubah sababiyah
yaitu kekerabatan itu ditentukan berdasarkan hukum. Ashobah sababiyah menurut
hukum itu terjadi lantaran :
a.
Adanya perjanjian untuk
saling tolong-menolong.
b.
Wala`ul ataqoh atau wala`ul
`itqi, yaitu `ushubah yang disebabkan karena memerdekakan budak
(membebaskannya), sehingga ia memperoleh kedudukan yang bebas dan mempunyai hak
serta kewajiban sebagai manusia bebas lainnya. Dan apabila yang dimerdekakan
itu meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris, maka bekas tuannya yang
membebaskannya (mu`tiq) itulah yang berhak menerima harta warisannya.
Tetapi apabila si tuan meninggal dunia, bekas budak yang dibebaskan tidaklah
mewaris dari harta benda bekas tuannya itu.
Sebagaimana
hadits Nabi Muhammad SAW, yaitu sebagai berikut :
إِنَّمَا الْوَلاَءُ
لِمَنْ أَعْتَقَ. (متفق عليه)
Artinya : “Hak wala’ itu orang
yang memerdekakan.” (Muttafaq’alaih)[7]
Proses
pemindahan hak milik bisa dikelompokkan dalam dua macam:
1.
Pengalihan hak milik dengan
maksud atau ikhtiar dari pemiliknya
2.
Pengalihan hak milik tanpa
kehendak dan ikhtiar pemiliknya tapi mengikuti keadaan dan kenyataan. Misalnya
pengalihan dikarenakan orang yang sedang menjadi pemiliknya meninggal dunia.
Pengalihan hak milik yang demikian namanya pengalihan hak ijbariyah yang
tidak memerlukan adanya kerelaan pihak yang menerima sekalipun. Menurut Fiqh
Islam para ahli waris dalam menerima pengalihan hak atas harta waris tidak
diperlukan kerelaan.[8]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Hak milik adalah kekuasaan
seseorang terhadap sesuatu atau terhadap suatu barang dan mempunyai kebebasan
bertindak secara bebas terhadap barang tersebut, baik akan
dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri maupun dengan perantara orang
lain.
Secara umum,
hak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Haq mal
(berhubungan dengan harta), dan
2.
Haq gairu mal
(berhubungan dengan selain harta).
Adapun
faktor-faktor yang menyebabkan harta dapat dimiliki, yaitu:
1. Ikraj al Mubahat
2.
Khalafiyah
3.
Tawallud min
Mamluk
4.
Penguasaan
terhadap milik negara atas pribadi yang sudah lebih dari tiga tahun
Demikian makalah yang dapat kami
sajikan. Kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan
selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan dapat menambah khasanah pengetahuan, manfaat untuk kita semua.
Amiiinn..
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al Qur’an dan Al Hadits
2.
Hendi Suhendi, Fiqh
Muamalah, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2002
3.
Imron Abu Amar,
Terjemahan Fat-hul Qarib, Menara Kudus, Kudus, 1982
4.
A Dzajuli, Fiqh
Siyasah, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2003
5.
Zakiah Daradjat, Ilmu
Fiqh, PT Dana Bhakti Wakaf, Jakarta, 1995
6.
Achmad Kuzari, Sistem
Asabah Dasar Pemindahan Hak Milik atas Harta Tinggalan, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1996
[1]
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2002, hlm. 3
[3]
Imron Abu Amar, Terjemahan
Fat-hul Qarib, Menara Kudus, Kudus, 1982, hlm. 326
[4]
A.
Dzajuli, Fiqh Siyasah, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2003, hlm.
209-212
[5]
Hendi Suhendi, Op. Cit, hlm. 35-37
[6]
Hendi Suhendi, Op. Cit, hlm. 38
[7]
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, PT Dana Bhakti Wakaf, Jakarta, 1995, hlm. 32
[8]
Ahcmad Kuzari, Sistem Asabah Dasar Pemindahan Hak Milik atas Harta Tinggalan,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 39
maaf saya copas
ReplyDelete