MUHKAM DAN MUTASYABIH
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen
Pengampu : Solikhul Hadi, M.Ag
Disusun
Oleh :
Kelompok
7/Kelas D
1.
M. Haris Aulian Nuha (210 193)
2.
Safrotul Awalia (210 202)
3.
Ahmad Khoirul Badar (210 205)
4.
Lisa Akhmalia Jayanti (210 208)
5.
Nur Ulyatus Sholikhah (210 210)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
KUDUS
JURUSAN SYARI’AH/EI
2011
MUHKAM
DAN MUTASYABIH
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Allah menurunkan al-Qur’an kepada hamba-Nya agar menjadi pemberi peringatan
bagi semesta alam. Allah menggariskan bagi makhluk-Nya itu aqidah yang benar
dan prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat-ayat al-Qur’an yang tegas
keterangannya dan jelas ciri-cirinya. Itu semua merupakan karunia-Nya kepada
umat manusia, di mana Allah menetapkan bagi mereka pokok-pokok agama untuk
menyelamatkan aqidah mereka dan menerangkan jalan lurus yang harus mereka
tempuh. Ayat-ayat tersebut adalah Ummul Kitab yang tidak diperselisihkan
lagi pemahamannya demi menyelamatkan umat Islam dan menjaga eksistensinya.
Pokok-pokok agama tersebut dibeberapa tempat dalam al-Qur’an terkadang
datang dengan lafadz, ungkapan, dan uslub (gaya bahasa) yang
berbeda-beda tetapi maknanya cocok dan serasi. Tak ada kontradiksi di
dalamnya. Adapun mengenai masalah furu’
(cabang) agama yang bukan masalah pokok, ayat-ayat al-Qur’an ada yang bersifat
umum dan mutasyabih (samar-samar) yang memberikan peluang bagi para
mujtahid yang handal ilmunya untuk dapat mengembalikannya kepada yang muhkam
(tegas maknanya), dengan cara mengembalikan masalah cabang kepada masalah
pokok, dan yang bersifat partikal (juz’i) kepada yang bersifat universal
(kulli). Sementara itu beberapa hati yang memperturutkan hawa nafsu
tersesat dengan ayat yang mutasyabih ini. Dengan ketegasan dan kejelasan dalam
masalah pokok dan keumuman dalam masalah cabang tersebut, maka Islam menjadi
agama abadi bagi umat manusia yang menjamin baginya kebaikan dan kebahagiaan di
dunia dan akhirat, disepanjang masa dan waktu.
2.
Rumusan Masalah
- Apa pengertian Muhkam dan Mutasyabih?
- Bagaimana para ulama’ menanggapi ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih?
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Muhkam
dan Mutasyabih
Muhkam secara lugawi berasal dari
kata hakama, hukm berarti memutuskan antara dua hal atau lebih
perkara, maka hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan
memisahkan dua pihak yang sedang bertikai. Sedangkan muhkam adalah sesuatu yang kokoh, jelas, fasih dan membedakan antara yang hak dan
batil.[1] Ihkam al-Kalam berarti mengokohkan perkataan dengan
memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang
sesat. Jadi, kalam muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya.[2]
Dengan pengertian inilah Allah mensifati al-Qur’an bahwa seluruhnya
adalah muhkam, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
!9#
4 ë=»tGÏ. ôMyJÅ3ômé& ¼çmçG»t#uä
§NèO
ôMn=Å_Áèù `ÏB ÷bà$©! AOÅ3ym
AÎ7yz
Artinya, “Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang
ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang
diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.” (QS. Hud
[11]: 1).
!9# 4 y7ù=Ï? àM»t#uä É=»tGÅ3ø9$# ÉOÅ3ptø:$#
Artinya, “Alif laam raa. Inilah ayat-ayat Al Qur'an yang
mengandung hikmah.” (QS. Yunus [10]: 1).
“al-Qur’an itu seluruhnya muhkam,” maksudnya
al-Qur’an itu ayat-ayatnya itqam (kokoh, indah), yakni ayat-ayatnya
serupa dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain, dan membedakan antara
yang hak dan yang batil dan antara yang benar dengan yang dusta.[3]
Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh (bila salah satu
dari dua hal serupa dengan yang lain), dan syubhah (keadaan dimana salah
satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya
kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Allah berfirman: $YgÎ7»t±tFãB ÏmÎ/ #qè?é&ur (al-Baqarah
[2]: 25). Maksudnya: sebagian buah-buahan surga itu serupa dengan sebagian yang
lain dalam hal warna, tidak dalam hal rasa dan hakikat. Dikatakan pula mutasyabih
adalah mutamasil (sama) dalam perkataan dan keindahan. Jadi, tasyabuh
al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya
membetulkan sebagian yang lain.[4]
Dengan pengertian inilah Allah mensifati “al-Qur’an itu seluruhnya
mutasyabih,” maksudnya al-Qur’an itu sebagian kandungannya serupa dengan
sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagiannya
membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya.[5]
Mengenai pengertian muhkam dan mutasyabih terdapat banyak
perbedaan pendapat. Yang terpenting di antaranya sebagai berikut:
v Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya,
sedangkan mutasyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri.
v Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah,
sedangkan mutasyabih mengandung banyak wajah.
v Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara
lansung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih memerlukan
penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.[6]
Para ulama’ memberikan contoh-contoh ayat muhkam dalam al-Qur’an
dengan ayat-ayat nasikh, ayat-ayat tentang halal, haram, hudud
(hukuman), kewajiban, janji, dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih
mereka mencontohkan dengan ayat-ayat mansukh dan ayat-ayat tentang Asma’
Allah dan sifat-sifat-Nya, antara lain:
ß`»oH÷q§9$#
n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$#
“Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy.” (QS.
Ta ha [20]: 5)
@ä.
>äóÓx« î7Ï9$yd
wÎ)
çmygô_ur
“Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.” (QS.
Al-Qasas [28]: 88)
ßt «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷r&
“Tangan Allah di atas tangan mereka.”
(QS. Al-Fath [48]: 10)
uqèdur ãÏd$s)ø9$# s-öqsù ÍnÏ$t6Ïã
“Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya.”
(QS. Al-An’am [6]: 18)
uä!%y`ur y7/u
“Dan datanglah Tuhanmu.” (QS. Al-Fajr
[89]: 22)
|=ÅÒxîur ª!$# öNÍkön=tã
“Dan Allah memarahi mereka.” (QS. Al-Fath
[48]: 6)
zÓÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã
“ Allah ridha terhadap mereka.”
(QS. Al-Bayyinah [98]: 8)
ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósã ª!$#
“Maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu.”
(QS. Ali Imran [3]: 31)
Dan masih banyak lagi ayat lainnya. Termasuk di dalamnya
permulaan beberapa surah yang dimulai dengan huruf-huruf hija’iyah dan hakikat
hari kemudian serta ‘ilmus sa’ah.
Dengan merujuk kepada makna takwil (at-ta’wil) maka
akan jelaslah bahwa antara kedua pendapat di atas itu tidak terdapat
pertentangan, karena lafadz “takwil” digunakan untuk menunjukkan tiga makna:
a.
Memalingkan
sebuah lafadz dari makna yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh),
karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian takwil yang
dimaksudkan oleh sebagian ulama muta’akhkhirin.
b.
Takwil dengan
makna tafsir (menerangkan, menjelaskan); pembicaraan untuk menafsirkan
lafadz-lafadz agar maknanya dapat dipahami.
c.
Takwil adalah
hakikat (substansi) yang kepadanya pembicaraan dikembalikan. Maka, takwil
takwil dari apa yang diberitahukan Allah tentang zat dan sifat-sifat-Nya. Dan
takwil dari apa yang diberitahukan Allah tentang hari kemudian adalah substansi
yang ada pada hari kemudian itu sendiri.[7]
Firman Allah SWT:
ôxÎm7|¡sù
ÏôJpt¿2
y7În/u
çnöÏÿøótGó$#ur
4 ¼çm¯RÎ)
tb%2
$R/#§qs?
“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun
kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah Maha Penerima taubat.”
(QS. An-Nasr [110]: 3)
2.
Macam-macam Ayat Mutasyabihat
- Ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia, kecuali Allah SWT. contohnya, seperti Dzat Allah SWT, hakikat sifat-sifat-Nya, waktu datangnya hari kiamat, dan sebagainya.
- Ayat-ayat yang mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Contoh, seperti merinci yang mujmal, menentukan yang musytarak, mengkayyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dan sebagainya.
- Ayat mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu bukan oleh semua orang. Termasuk urusan yang hanya diketahui oleh Allah.[8]
3.
Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-ayat Muhkam dan
Mutasyabih
Madzhab Salaf,
yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan
menyerahkan sepenuhnya kepada Allah (tafwidh ilallah). Mereka menyucikan Allah
dari pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana
yang diterangkan Al-Qur’an.
Madzhab Khalaf,
yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih
yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan
keluhuran Allah. Mereka umumnya berasal dari kalangan ulama muta’akhirin[9]
4.
Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat
a.
Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang kemampuan
Bahasa Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas
arti maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi mereka.
b.
Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya.
Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah
mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
c.
Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan
mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah
diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
d.
Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam
mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat
menjelaskan arti maksudnya, tidak harus menuggu penafsiran atau penjelasan dari
lafal ayat atau surah yang lain.[10]
5.
Hikmah Ayat-Ayat Mutasyabihat
a.
Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang
dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi
cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan
paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi
akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri
kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal
terhadap Allah karena kesadaraannya akan ketidakmampuan akalnya untuk
mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.
b.
Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasybih.
Sebagaimana Allah menyebutkan wa ma yadzdzakkaru ila ulu al-albab sebagai
cercaan terhadap orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabih.
Sebaliknya Allah memberikan pujian bagi orang-orang yang mendalami ilmunya,
yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik
ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la tuzighqulubana. Mereka
menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni
c.
Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar
apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal
tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya
yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
d.
Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu
sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu
bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu dari Allah SWT.
e.
Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu
pengetahuan yang bermacam-macam.[11]
6.
Takwil yang Tercela
Takwil yang tercela adalah takwil dengan pengertian pertama,
memalingkan lafadz dari makna rajih kepada makna marjuh karena
ada dalil yang menyertainya. Takwil semacam ini banyak dipergunakan oleh
sebagian besar ulama’ muta’akhkhirin, dengan tujuan untuk lebih memahasucikan
Allah SWT dari keserupaan-Nya dengan makhluk seperti yang mereka sangka. Dugaan
ini sungguh batil karena dapat menjatuhkan mereka ke dalam kekhawatiran yang
sama dengan apa yang mereka takuti, atau bahkan lebih dari itu. Misalnya,
ketika mentakwilkan “tangan” (al-yad) dengan kekuasaan (al-qudrah).
Maksud mereka adalah untuk menghindarkan penetapan “tangan” bagi Khalik
mengingat makhluk pun memiliki tangan. Oleh karena lafadz al-yad ini
bagi mereka menimbulkan kekaburan maka ditakwilkanlah dengan al-qudrah.
Hal semacam ini mengandung kontradiksi, karena memaksa mereka untuk menetapkan
sesuatu makna yang serupa dengan makna
yang mereka sangka harus ditiadakan, mengingat makhluk pun mempunyai kekuasaan,
al-qudrah, pula. Apabila qudrah yang mereka tetapkan itu hak dan
mungkin, maka penetapan tangan bagi Allah pun hak dan mungkin. Sebaliknya, jika
penetapan “tangan” dianggap batil dan terlarang karena menimbulkan keserupaan
menurut dugaan mereka, maka penetapan “kekuasaan” juga batil dan terlarang.
Dengan demikian, maka tidak dapat dikatakan bahwa lafadz ini ditakwilkan, dalam
arti dipalingkan dari makna yang rajih kepada makna yang marjuh.
Celaan terhadap
para penakwil yang datang dari para ulama’ salaf dan lainnya itu ditujukan
kepada mereka yang menakwilkan lafadz-lafadz yang kabur maknanya bagi mereka,
tetapi tidak menurut takwil yang sebenarnya, sekalipun yang demikian tidak
kabur bagi orang lain.[12]
C.
PENUTUP
Kesimpulan
Muhkam adalah ayat-ayat yang bermakna jelas. Sedangkan Mutasyabih adalah ayat yang maknanya belum jelas.
Para ulama salaf mempercayai
dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah (tafwidh
ilallah). Sedangkan para ulama khalaf ada yang berpendapat perlunya
menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat Allah sehingga
melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-Qur’an Al-Karim
2.
Muhammad
Chirzin. 2003. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Prima Yasa
3.
Al-Khattan, Manna’ Khalil. 2001. Studi Ilmu-ilmu
Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa
[1] Muhammad Chirzin. 2003. Al-Qur’an dan
Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, hal. 70.
[2] Al-Khattan,
Manna’ Khalil. 2001. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa, hlm. 303
[3]
Ibit, hlm. 304
[4] Ibit,
hlm. 304
[5] Ibit,
hlm. 304
[6] Ibit,
hlm. 306
[7] Ibit, hlm. 305-306
[8] http://hanny.blogdetik.com/2010/02/04/muhkam-dan-mutasyabih/,
diunduh 21/4/2011, 08.37 WIB
[9] Ibit,
diunduh 21/4/2011, 08.37
WIB
[10]
Ibit, diunduh 21/4/2011, 08.37 WIB
[11]
Ibit, diunduh 21/4/2011, 08.37 WIB
[12]
Al-Khattan, Manna’ Khalil. Op. Cit, hlm. 311
No comments:
Post a Comment