KEMUNDURAN
TIGA KERAJAAN BESAR
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu : Taufiqurrahman Kurniawan, S.Hi, MA
Disusun Oleh :
Nama : Ahmad Khoirul Badar
NIM : 210 205
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
SYARI’AH/EI
2011
KEMUNDURAN TIGA KERAJAAN BESAR
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seperti takdir yang telah Allah tentukan disetiap kejayaan tentu akan
berganti dengan kemunduran bahkan sebuah kehancuran. Demikian pula yang terjadi
pada ketiga kerajaan tersebut. Setelah pemerintahan yang gilang gemilang
dibawah kepemimpinan tiga raja besar, masing-masing kerajaan mengalami fase
kemunduran. Akan tetapi penyebab kemunduran tersebut berlangsung dengan
kecepatan yang berbeda-beda.
B.
Rumusan Masalah
1.
Sejarah singkat tentang
kemunduran tiga kerajaan besar
2.
Apa saja faktor penyebab
kemunduran tiga kerajaan besar?
II.
PEMBAHASAN
A.
Kemunduran dan
Kehancuran Kerajaan Safawi di Persia
Kerajaan safawi di Persia meraih puncak keemasan dibawah pemerintahan Syah
Abbas I selama periode 1588-1628 M. Abbas I berhasil membangun kerajaan safawi
sebagai kompetitor seimbang bagi Kerajaan Turki Usmani. Sepeninggal Abbas I
kerajaan Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu:
1.
Safi Mirza (1628 – 1642 M)
Safi Mirza merupakan pemimpin yang lemah dan kelemahan ini dilengkapinya
oleh kekejaman yang luar biasa terhadap pembesar-pembesar kerajaan karena
sifatnya yang pecemburu. Pada masa pemerintahan Mirza inilah kota Qandahar
lepas dari penguasaan Safawi karena direbut oleh kerajaan Mughal yang pada saat
itu dipimpin oleh Syah Jehan. Baghdad sendiri direbut oleh Kerajaan Usmani
2.
Abbas II (1642-1667 M)
Abaas II konon seorang raja pemabuk, akan tetapi di tangannya dengan
bantuan wazir-wazirnya kota Qandahar bisa direbut kembali.
3.
Sulaiman (1667-1694 M)
Sulaiman adalah seorang pemabuk dan selalu bertindak kejam terhadap
pembesar istana yang dicurigainya. Akibatnya rakyat bersikap masa bodoh
terhadap pemerintahan.1
4.
Husain (1694-1722 M)
Syah Husain adalah raja yang alim, tetapi kealiman Husain adalah suatu
kefanatikan tehadap Syi’ah. Karena dia Syi’ah berani memaksakan pendiriannya
terhadap golongan Sunni. Inilah yang menyebabkan timbulnya kemarahan golongan
Sunni di Afghanistan, sehingga mereka berontak dan berhasil mengakhiri
kekuasaan Dinasti Safawi.2
Pemberontakan bangsa Afghan dimulai pada 1709 M di bawah pimpinan Mir
Vays yang berhasil merebut wilayah Qandahar. Lalu disusul oleh pemberontakan
suku Ardabil di Herat yang berhasil menduduki Mashad. Mir Vays digantikan oleh
Mir Mahmud sebagai penguasa Qandahar. Dibawahnyalah, keberhasilan menyatukan
suku Afghan dengan suku Ardabil. Dengan kekuatan yang semakin besar, Mahmud
semakin terdorong untuk memperluas wilayah kekuasaannya dengan merebut wilayah
Afghan dari tangan Safawi. Bahkan ia melakukan penyerangan terhadap Persia
untuk menguasai wilayah tersebut. Penyerangan ini memaksa Husain untuk mengakui
kekuasaan Mahmud. Oleh Husain, Mahmud diangkat menjadi gubernur di Qandahar
dengan gelar husain Quli Khan yang berarti Budak Husain. Dengan pengakuan ini
semakin mudah bagi Mahmud untuk menjalankan siasatnya. Pada 1721 M ia berhasil
merebut Kirman. Lalu menyerang Isfahan, mengepung ibu kota Safawi itu selama
enam bulan dan memaksa Husain menyerah tanpa syarat. Pada 12 Oktober 1722 M
Syah Husain menyerah dan 25 Oktober menjadi hari pertama Mahmud memasuki kota
Isfahan dengan kemenangan.3
1Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004,
hlm. 156
2Hamka,
Sejarah Umat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1981, hlm. 71-73
3P.
M. Holt, dkk, (ed.), The Cambridge History Of Islam, vol. I A, (London:
Cambridge University Press, 1970), hlm. 426
5.
Tamnasp II (1722-1732 M)
Tahmasp II yang merupakan salah seorang putra Husain dengan dukungan
penuh suku Qazar dari Rusia, memproklamirkan diri sebagai penguasa Persia
dengan ibu kota di Astarabad. Pada 1726 M, Tahmasp bekerja sama dengan Nadir
khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki
Isfahan.
Asyraf sebagai pengganti Mir Mahmud berhasil dikalahkan pada 1729 M,
bahkan Asyraf terbunuh dalam pertempuran tersebut. Dengan kematian Asyraf, maka
dinasti Safawi berkuasa lagi.
6.
Abbas III (1733-1736 M)
Pada Agustus 1732 M, Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan dan digantikan
oleh Abbas III yang merupakan putra Tahmasp II, padahal usianya masih sangat
muda. Ternyata ini adalah strategi politik Nadir Khan karena pada tanggal 8
maret 1736, dia menyatakan dirinya sebagai penguasa persia dari abbas III. Maka
berakhirlah kekuasaan dinasti Safawi di Persia.4
Pada masa raja-raja tersebut kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkan
perkembangan, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa
pada kehancuran.
.Diantara
sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi ialah:
v Konflik berkepanjangan dengan kerajaan Usmani.5
v Dekadensi moral yang melanda sebagian besar para pemimpin
kerajaan Safawi.
v Lemahnya pasukan Ghulam (budak-budak) yang diandalkan
oleh safawi pasca penggantian tentara Qizilbash.
v Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan
kekuasaan dikalangan keluarga istana.6
Demikianlah dinamika kekhalifahan Safawi di Persia. Sistem Syi’ah ini,
diakui atau tidak, walau safawi telah hancur, masih memiliki sisa-sisanya.
4Ibit, hlm.
428-429
5Ibit, hlm. 417
6Badri
Yatim, Op. Cit, hlm. 158-159
B.
Kemunduran dan
Kehancuran Kerajaan Mughal di India
Sepeninggalan Aurangzeb pada 1707 M, kesultanan Mughal mulai menunjukkan
tanda-tanda kemunduran karena generasi pemimpin selanjutanya sangat lemah. Tercatat
sultan-sultan pasca Aurangzeb :
1.
Bahadur Syah I (1707-1712
M)
Bahadur Syah I menganut aliran Syi’ah. Pada masa pemerintahannya ia
dihadapkan pada perlawanan penduduk Lahore karena sikapnya yang terlampau
memaksanakan ajaran Syi’ah kepada mereka.
2.
Azimus Syah (1712 M)
Masa pemerintahan Azimus Syah (putra Bahadur Syah) ditentang oleh Zulfkar
Khan, putera Azad Khan, wazir Aurangzeb.
3.
Jihandar Syah (1713 M)
Pada masa pemerintahan Jihandar Syah (putra Azimus Syah), mendapat
tantangan dari Farukh Siyar, adiknya sendiri.
4.
Farukh Siyar (1713-1719 M)
Pemerintahan Farukh Siyar mendapat dukungan kelompok sayyid, tapi ia
malah tewas di tangan para pendukungnya sendiri.
5.
Muhammad Syah (1719-1748 M)
Muhammad Syah terusir oleh suku Asyfar di bawah pimpinan Nadir Syah yang
sebelumnya telah berhasil melenyapkan kekuasaan Safawi di Persia. Muhammad Syah
tidak dapat bertahan dan mengaku tunduk kepada Nadir Syah. Muhammad Syah
kembali berkuasa di Delhi setelah ia bersedia memberi hadiah yang sangat besar
kepada Nadir Syah.
6.
Ahmad Syah (1748-1754 M)
7.
Alamghir II (1754-1759 M)
8.
Syah Alam (1761-1806 M)
Tahun 1761 M Mughal diserang oleh Ahmad Khan Durrani dari Afghan.
Kerajaan Mughal tidak dapat bertahan dan sejak itu Mughal berada dibawah
kekuasaan Afghan, meskipun Syah Alam tetap diizinkan memakai gelar Sultan. Pada
tahun itu juga, perusahaan Inggris (EIC) yang semakin kuat akhirnya mengangkat
senjata melawan pemerintah Kerajaan Mughal. Akhirnya, Syah Alam membuat
perjanjian damai dengan menyerahkan Oudh, Bengal, dan Orisa kepada Inggris.7
Sementara itu, Najib Al-Daula, wazir Mughal dikalahkan oleh aliansi Sikh-Hindu,
sehingga Delhi dikuasai Sindhia dari Marathas. Akan tetapi, Sindhia dapat
dihalau kembali oleh Syah Alam dengan bantuan Inggris (1803 M).
9.
Akbar (1806-1837 M).
Akbar memberi konsesi kepada EIC untuk mengembangkan usahanya di anak
benua India, tapi pihak perusahaan harus menjamin kehidupan raja dan keluarga
istana. Dengan demikian, kekuasaan sudah berada ditangan Inggris, meskipun kedudukan
dan gelar Sultan dipertahankan.
10.
Bahadur Syah II (1837-1858
M)
Bahadur Syah II tidak menerima isi perjanjian antara EIC dengan ayahnya
itu, sehingga terjadi konflik antara dua kekuatan tersebut. Namun dalam konflik
tersebut, Inggris dapat memenangkannya. Maka Bahadur Syah II, raja Mughal
terakhir, diusir dari istana. Dengan demikian, berakhirlah sejarah kekuasaan
dinasti Mughal di daratan India, dan tinggallah di sana umat Islam yang harus
berjuang mempertahankan eksistensi mereka.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan dinasti Mughal itu mundur
dan membawa kepada kehancurannya pada tahun 1858 M, yaitu:
1.
Terjadi stagnasi dalam
pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah-wilayah
pantai tidak dapat dipantau oleh kekuatan maritim Mughal. Begitu juga kekuatan pasukan
darat. Bahkan mereka kurang terampil dalam mengoperasikan persenjataannya.
2.
Kemerosotan moral dan hidup
mewah di kalangan elite politik.
3.
Pendekatan Aurangzeb yang
terlampau “kasar” dalam melaksanakan ide-ide puritan dan kecenderungan
asketisnya, sehingga konflik antar agama sangat sukar diatasi oleh
sultan-sultan sesudahnya.
4.
Semua pewaris tahta
kerajaan pada paro terakhir adalah orang-orang lemah dalam bidang kepemimpinan.8
7Hamka,
Op. Cit, hlm. 163
8Badri
Yatim, Op. Cit, hlm 163
C.
Kemunduran dan
Kehancuran Kerajaan Usmani di Turki
Setelah Sultan Sulaiman al-Qanuni wafat (1566 M), kerajaan Turki Usmani
mulai memasuki fase kemundurannya. Akan tetapi, sebagai sebuah kerajaan yang
sangat besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Sepeninggal Sultan
Sulaiman al-Qanuni kerajaan Usmani berturut-turut diperintah oleh:
1.
Sultan Salim II (1566-1574
M)
Saat kekuasaan Salim II, ia menderita kekalahan dari serangan pasukan
gabungan armada Spanyol, Bandulia, dan Armada Sri Paus di tahun 1663 M. Pasukan
Usmani juga mengalami kekalahan dalam pertempuran di Hungaria di tahun 1676 M.
Pada 1669 M, Turki Usmani mengalami kekalahan di Mohakez sehingga terpaksa
menandatangani perjanjian Karlowitz yang isinya kerajaan Usmani harus
menyerahkan seluruh wilayah hungaria dan pada 1770 M pasukan Rusia mengalahkan
pasukan Usmani di Asia kecil.9
2.
Sultan Murad III (1574-1595
M)
Walaupun kepribadian Sultan Murad III yang jelek dan suka memperturutkan
hawa nafsunya, Kerajaan Usmani pada masanya berhasil menyerbu Kaukasus dan
menguasai Tiflis di Laut Hitam (1577 M), merampas kembali Tabriz, ibu kota
Safawi, menundukkan Georgia, mencampuri urusan dalam negeri Polandia, dan
mengalahkan gubernur Bosnia pada tahun 1593 M.10 Namun, kehidupan
moral Sultan yang jelek menyebabkan timbulnya kekacauan dalam negeri.
3.
Sultan Muhammad III
(1595-1603 M)
Sultan Muhammad III membunuh semua saudara laki-lakinya berjumlah 19
orang dan menenggelamkan janda-janda ayahnya sejumlah 10 orang demi kepentingan
pribadi.11 Dalam situasi yang kurang baik itu, Austria berhasil
memukul Kerajaan Usmani.
9Badri
Yatim, Op. Cit, hlm 163
10Ibrahim Hassan Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta,
Kota Kembang, 1989, hlm. 339
11Carl Brockkmann, History of the Islamic Peoples, London,
Routledge & Kegan Paul, 1982, hlm. 328
4.
Sultan Ahmad I (1603-1617
M)
Sultan Ahmad I sempat bangkit untuk memperbaiki situasi dalam negeri,
tetapi kejayaan Kerajaan Usmani di mata bangsa-bangsa Eropa sudah memudar.
5.
Sultan Mustafa I, masa
pemerintahan pertama (1617-1618), dan kedua (1622-1623 M)
Keadaan kerajaan Usmani semakin memburuk karena gejolak politik dalam
negeri tidak dapat diatasinya, Syaikh al-Islam mengeluarkan fatwa agar
Sultan Mustafa I turun dari tahta.
6.
Sultan Usman II (1618-1622
M)
Sultan Usman II juga tidak mampu memperbaiki keadaan. Dalam situasi
demikian, bangsa Persia bangkit mengadakan perlawanan merebut wilayahnya
kembali. Kerajaan Usmani sendiri tidak mampu berbuat banyak dan terpaksa
melepaskan wilayah Persia tersebut.
7.
Sultan Murad IV (1623-1640
M)
Langkah-langkah perbaikan kerajaan mulai diusahakan oleh Sultan Murad IV.
Pertama-tama ia mencoba menyusun dan menertibkan pemerintahan. Pasukan
Jenissari yang pernah menumbangkan Usman II dapat dikuasainya. Akan tetapi,
masa pemerintahannya berakhir sebelum ia berhasil menjernihkan situasi negara
keseluruhan.
8.
Sultan Ibrahim (1640-1648
M)
Sultan Ibrahim termasuk orang yang
lemah. Pada masanya ini orang-orang Venetia melakukan peperangan laut dan
berhasil mengusir orang-orang Turki Usmani dari Cyprus dan Creta tahun 1645 M.
Kekalahan itu membawa Muhammad Koprulu sebagai wazir yang diberi kekuasaan
penuh.12 Ia berhasil mengembalikan peratuaran dan mengkonsolidasikan
stabilitas keuangan negara. Setelah Koprulu meninggal (1661 M), jabatannya
dipegang oleh anaknya, Ibrahim. Ibrahim menyangka bahwa kekuatan militernya sudah
pulih, namun Ibrahim selalu kalah dalam peperangan. Usmani yang luas itu
sedikit demi sedikit terlepas dari kekuasaannya dan direbut oleh negara-negara
Eropa.
12Hassan Ibrahim Hassan, Loc. Cit.
Tahun 1699 M terjadi Perjanjian Karlowith yang memaksa Sultan untuk
menyerahkan seluruh Hongaria, sebagian besar Slovenia dan Croasia kepada
Hapsburg; dan Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia kepada
orang Venetia. Tahun 1770 M, tentara Rusia mengalahkan armada kerajaan Usmani
di sepanjang pantai Asia Kecil.
9.
Sultan Mustafa III
(1757-1774 M)
Pada masa pemerintahan Sultan Mustafa, berhasil memukul mundur kembali
tentara Rusia.
10. Sultan Abd al-Hamid (1774-1789 M)
Sultan Abd al-Hamid seseorang yang lemah. Tidak lama naik tahta, di
Kutchuk Kinarja ia mengadakan perjanjian yang dinamakan “Perjanjian Kinarja”
dengan Catherine II dari Rusia, yang isinya:
v Kerajaan Usmani harus menyerahkan benteng-benteng yang berada di
Laut Hitam kepada Rusia dan memberi izin kepada armada Rusia untuk melintasi
selat yang menghubungkan Laut Hitam dengan Laut Putih; dan
v Kerajaan Usmani mengakui kemerdekaan Kirman (Crimea).13
Faktor yang
menyebabkan Kerajaan Usmani mengalami kemunduran, yaitu:
1.
Wilayah yang sangat luas,
sementara administrasinya tidak beres.
2.
Heterogenitas penduduk.
3.
Kelemahan para penguasa.
4.
Budaya pungli.
5.
Pemberontakan tentara
Jenissari.
6.
Merosotnya ekonomi.
7.
Terjadinya stagnasi dalam
lapangan ilmu dan teknologi.14
Demikianlah proses kemunduran kerajaan besar Usmani. Pada masa
selanjutnya, kelemahan kerajaan ini menyebabkan kekuatan-kekuatam Eropa tanpa
segan-segan menjajah dan menduduki daerah-daerah muslim yang dulunya berada di
bawah kekuasaan Kerajaan Usmani, terutama di Timur Tengah dan Afrika Utara.
13Carl Brockkmann, Op. Cit, hlm. 336
14Badri Yatim, Op. Cit, hlm. 167-168
III.
PENUTUP
Kesimpulan
Keruntuhan
tiga kerajaan islam ini umumnya ditandai oleh konflik dalam kalangan keluarga
kerajaan yang saling berebut kekuasaan. Hal ini mengakibatkan sistem
pemerintahan dan keluasan wilayah yang telah berhasil dibangun pada masa
sebelumnya menjadi tidak berarti lagi karena para penerusnya lebih sibuk untuk
saling merebut kekuasaan dari tangan keluarganya sendiri.
Masalah
ekonomi juga sangat berperan, seperti misalnya kedatangan Inggris di Mughal
sangat mempengaruhi kehidupan ekonomi istana yang pada ujungnya malah
bergantung kepada Inggris. Demikian pula di Turki Usmani, sikap boros dan hidup
kemewahan berbanding lurus dengan kekalahan demi kekalahan yang dialami sehingga
membuat kas negara berwarna merah karena tak mendapatkan ghanimah maupun
wilayah baru.
Sistem
politik juga sangat mempengaruhi, di Safawi misalnya kebijakan memaksakan
madzhab syi’ah membuat secara politik orang-orang Sunni tidak senang dan
akhirnya justru memberontak melepaskan diri dari kekuasaan Safawi dan bahkan
Sunni melalui suku Afghan berhasil menguasai wilayah Safawi.
Ambisi perluasan wilayah juga mengakibatkan kehancuran Turki Usmani itu sendiri karena tenyata semangat juang lagi sekuat dulu. Demikian juga Ghulam di Safawi tidak memiliki semangat seperti Qizilbash, demikian pula generasi Qizilbash selanjutnya tidak seperti generasi Qizilbash terdahulu.
Ambisi perluasan wilayah juga mengakibatkan kehancuran Turki Usmani itu sendiri karena tenyata semangat juang lagi sekuat dulu. Demikian juga Ghulam di Safawi tidak memiliki semangat seperti Qizilbash, demikian pula generasi Qizilbash selanjutnya tidak seperti generasi Qizilbash terdahulu.
Kelemahan
teknologi yang sangat mencolok membuat perlawanan di Mughal maupun usaha
mempertahankan diri oleh Turki Usmani mengalami kegagalan karena bangsa Eropa
pada saat itu telah memiliki perangkat perang yang selangkah lebih maju
dibandingkan dengan yang dimiliki oleh dua kerajaan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Yatim, Badri. 2004. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
2.
Hamka. 1981. Sejarah
Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang
3.
Holt, P. M, dkk. 1970. The
Cambridge History Of Islam. London: Cambridge University Press
4.
Hassan, Ibrahim Hassan.
1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang
5.
Brockkmann, Carl. 1982.
History of the Islamic Peoples. London: Routledge & Kegan Paul
No comments:
Post a Comment