Sunday, December 8, 2013

KEMUNDURAN TIGA KERAJAAN BESAR



KEMUNDURAN TIGA KERAJAAN BESAR


Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu : Taufiqurrahman Kurniawan, S.Hi, MA



STAIN 3.bmp 











Disusun Oleh :
Nama : Ahmad Khoirul Badar
NIM  : 210 205


 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH/EI
2011
KEMUNDURAN TIGA KERAJAAN BESAR

I.          PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Seperti takdir yang telah Allah tentukan disetiap kejayaan tentu akan berganti dengan kemunduran bahkan sebuah kehancuran. Demikian pula yang terjadi pada ketiga kerajaan tersebut. Setelah pemerintahan yang gilang gemilang dibawah kepemimpinan tiga raja besar, masing-masing kerajaan mengalami fase kemunduran. Akan tetapi penyebab kemunduran tersebut berlangsung dengan kecepatan yang berbeda-beda.

B.       Rumusan Masalah
1.    Sejarah singkat tentang kemunduran tiga kerajaan besar
2.    Apa saja faktor penyebab kemunduran tiga kerajaan besar?

II.          PEMBAHASAN
A.      Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Safawi di Persia
Kerajaan safawi di Persia meraih puncak keemasan dibawah pemerintahan Syah Abbas I selama periode 1588-1628 M. Abbas I berhasil membangun kerajaan safawi sebagai kompetitor seimbang bagi Kerajaan Turki Usmani. Sepeninggal Abbas I kerajaan Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu:
1.         Safi Mirza (1628 – 1642 M)
Safi Mirza merupakan pemimpin yang lemah dan kelemahan ini dilengkapinya oleh kekejaman yang luar biasa terhadap pembesar-pembesar kerajaan karena sifatnya yang pecemburu. Pada masa pemerintahan Mirza inilah kota Qandahar lepas dari penguasaan Safawi karena direbut oleh kerajaan Mughal yang pada saat itu dipimpin oleh Syah Jehan. Baghdad sendiri direbut oleh Kerajaan Usmani
2.         Abbas II (1642-1667 M)
Abaas II konon seorang raja pemabuk, akan tetapi di tangannya dengan bantuan wazir-wazirnya kota Qandahar bisa direbut kembali.
3.         Sulaiman (1667-1694 M)
Sulaiman adalah seorang pemabuk dan selalu bertindak kejam terhadap pembesar istana yang dicurigainya. Akibatnya rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintahan.1
4.         Husain (1694-1722 M)
Syah Husain adalah raja yang alim, tetapi kealiman Husain adalah suatu kefanatikan tehadap Syi’ah. Karena dia Syi’ah berani memaksakan pendiriannya terhadap golongan Sunni. Inilah yang menyebabkan timbulnya kemarahan golongan Sunni di Afghanistan, sehingga mereka berontak dan berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Safawi.2
Pemberontakan bangsa Afghan dimulai pada 1709 M di bawah pimpinan Mir Vays yang berhasil merebut wilayah Qandahar. Lalu disusul oleh pemberontakan suku Ardabil di Herat yang berhasil menduduki Mashad. Mir Vays digantikan oleh Mir Mahmud sebagai penguasa Qandahar. Dibawahnyalah, keberhasilan menyatukan suku Afghan dengan suku Ardabil. Dengan kekuatan yang semakin besar, Mahmud semakin terdorong untuk memperluas wilayah kekuasaannya dengan merebut wilayah Afghan dari tangan Safawi. Bahkan ia melakukan penyerangan terhadap Persia untuk menguasai wilayah tersebut. Penyerangan ini memaksa Husain untuk mengakui kekuasaan Mahmud. Oleh Husain, Mahmud diangkat menjadi gubernur di Qandahar dengan gelar husain Quli Khan yang berarti Budak Husain. Dengan pengakuan ini semakin mudah bagi Mahmud untuk menjalankan siasatnya. Pada 1721 M ia berhasil merebut Kirman. Lalu menyerang Isfahan, mengepung ibu kota Safawi itu selama enam bulan dan memaksa Husain menyerah tanpa syarat. Pada 12 Oktober 1722 M Syah Husain menyerah dan 25 Oktober menjadi hari pertama Mahmud memasuki kota Isfahan dengan kemenangan.3

 

1Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 156
2Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1981, hlm. 71-73
3P. M. Holt, dkk, (ed.), The Cambridge History Of Islam, vol. I A, (London: Cambridge University Press, 1970), hlm. 426
5.         Tamnasp II (1722-1732 M)
Tahmasp II yang merupakan salah seorang putra Husain dengan dukungan penuh suku Qazar dari Rusia, memproklamirkan diri sebagai penguasa Persia dengan ibu kota di Astarabad. Pada 1726 M, Tahmasp bekerja sama dengan Nadir khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan.
Asyraf sebagai pengganti Mir Mahmud berhasil dikalahkan pada 1729 M, bahkan Asyraf terbunuh dalam pertempuran tersebut. Dengan kematian Asyraf, maka dinasti Safawi berkuasa lagi.
6.         Abbas III (1733-1736 M)
Pada Agustus 1732 M, Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan dan digantikan oleh Abbas III yang merupakan putra Tahmasp II, padahal usianya masih sangat muda. Ternyata ini adalah strategi politik Nadir Khan karena pada tanggal 8 maret 1736, dia menyatakan dirinya sebagai penguasa persia dari abbas III. Maka berakhirlah kekuasaan dinasti Safawi di Persia.4
Pada masa raja-raja tersebut kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkan perkembangan, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa pada kehancuran.
.Diantara sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi ialah:
v Konflik berkepanjangan dengan kerajaan Usmani.5
v Dekadensi moral yang melanda sebagian besar para pemimpin kerajaan Safawi.
v Lemahnya pasukan Ghulam (budak-budak) yang diandalkan oleh safawi pasca penggantian tentara Qizilbash.
v Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana.6
Demikianlah dinamika kekhalifahan Safawi di Persia. Sistem Syi’ah ini, diakui atau tidak, walau safawi telah hancur, masih memiliki sisa-sisanya.


 
4Ibit, hlm. 428-429
5Ibit, hlm. 417
6Badri Yatim, Op. Cit, hlm. 158-159
B.       Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Mughal di India
Sepeninggalan Aurangzeb pada 1707 M, kesultanan Mughal mulai menunjukkan tanda-tanda kemunduran karena generasi pemimpin selanjutanya sangat lemah. Tercatat sultan-sultan pasca Aurangzeb :
1.         Bahadur Syah I (1707-1712 M)
Bahadur Syah I menganut aliran Syi’ah. Pada masa pemerintahannya ia dihadapkan pada perlawanan penduduk Lahore karena sikapnya yang terlampau memaksanakan ajaran Syi’ah kepada mereka.
2.         Azimus Syah (1712 M)
Masa pemerintahan Azimus Syah (putra Bahadur Syah) ditentang oleh Zulfkar Khan, putera Azad Khan, wazir Aurangzeb.
3.         Jihandar Syah (1713 M)
Pada masa pemerintahan Jihandar Syah (putra Azimus Syah), mendapat tantangan dari Farukh Siyar, adiknya sendiri.
4.         Farukh Siyar (1713-1719 M)
Pemerintahan Farukh Siyar mendapat dukungan kelompok sayyid, tapi ia malah tewas di tangan para pendukungnya sendiri.
5.         Muhammad Syah (1719-1748 M)
Muhammad Syah terusir oleh suku Asyfar di bawah pimpinan Nadir Syah yang sebelumnya telah berhasil melenyapkan kekuasaan Safawi di Persia. Muhammad Syah tidak dapat bertahan dan mengaku tunduk kepada Nadir Syah. Muhammad Syah kembali berkuasa di Delhi setelah ia bersedia memberi hadiah yang sangat besar kepada Nadir Syah.
6.         Ahmad Syah (1748-1754 M)
7.         Alamghir II (1754-1759 M)
8.         Syah Alam (1761-1806 M)
Tahun 1761 M Mughal diserang oleh Ahmad Khan Durrani dari Afghan. Kerajaan Mughal tidak dapat bertahan dan sejak itu Mughal berada dibawah kekuasaan Afghan, meskipun Syah Alam tetap diizinkan memakai gelar Sultan. Pada tahun itu juga, perusahaan Inggris (EIC) yang semakin kuat akhirnya mengangkat senjata melawan pemerintah Kerajaan Mughal. Akhirnya, Syah Alam membuat perjanjian damai dengan menyerahkan Oudh, Bengal, dan Orisa kepada Inggris.7 Sementara itu, Najib Al-Daula, wazir Mughal dikalahkan oleh aliansi Sikh-Hindu, sehingga Delhi dikuasai Sindhia dari Marathas. Akan tetapi, Sindhia dapat dihalau kembali oleh Syah Alam dengan bantuan Inggris (1803 M).
9.         Akbar (1806-1837 M).
Akbar memberi konsesi kepada EIC untuk mengembangkan usahanya di anak benua India, tapi pihak perusahaan harus menjamin kehidupan raja dan keluarga istana. Dengan demikian, kekuasaan sudah berada ditangan Inggris, meskipun kedudukan dan gelar Sultan dipertahankan.
10.     Bahadur Syah II (1837-1858 M)
Bahadur Syah II tidak menerima isi perjanjian antara EIC dengan ayahnya itu, sehingga terjadi konflik antara dua kekuatan tersebut. Namun dalam konflik tersebut, Inggris dapat memenangkannya. Maka Bahadur Syah II, raja Mughal terakhir, diusir dari istana. Dengan demikian, berakhirlah sejarah kekuasaan dinasti Mughal di daratan India, dan tinggallah di sana umat Islam yang harus berjuang mempertahankan eksistensi mereka.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan dinasti Mughal itu mundur dan membawa kepada kehancurannya pada tahun 1858 M, yaitu:
1.    Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah-wilayah pantai tidak dapat dipantau oleh kekuatan maritim Mughal. Begitu juga kekuatan pasukan darat. Bahkan mereka kurang terampil dalam mengoperasikan persenjataannya.
2.    Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elite politik.
3.    Pendekatan Aurangzeb yang terlampau “kasar” dalam melaksanakan ide-ide puritan dan kecenderungan asketisnya, sehingga konflik antar agama sangat sukar diatasi oleh sultan-sultan sesudahnya.
4.    Semua pewaris tahta kerajaan pada paro terakhir adalah orang-orang lemah dalam bidang kepemimpinan.8
 

7Hamka, Op. Cit, hlm. 163
8Badri Yatim, Op. Cit, hlm 163
C.      Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Usmani di Turki
Setelah Sultan Sulaiman al-Qanuni wafat (1566 M), kerajaan Turki Usmani mulai memasuki fase kemundurannya. Akan tetapi, sebagai sebuah kerajaan yang sangat besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Sepeninggal Sultan Sulaiman al-Qanuni kerajaan Usmani berturut-turut diperintah oleh:
1.      Sultan Salim II (1566-1574 M)
Saat kekuasaan Salim II, ia menderita kekalahan dari serangan pasukan gabungan armada Spanyol, Bandulia, dan Armada Sri Paus di tahun 1663 M. Pasukan Usmani juga mengalami kekalahan dalam pertempuran di Hungaria di tahun 1676 M. Pada 1669 M, Turki Usmani mengalami kekalahan di Mohakez sehingga terpaksa menandatangani perjanjian Karlowitz yang isinya kerajaan Usmani harus menyerahkan seluruh wilayah hungaria dan pada 1770 M pasukan Rusia mengalahkan pasukan Usmani di Asia kecil.9
2.      Sultan Murad III (1574-1595 M)
Walaupun kepribadian Sultan Murad III yang jelek dan suka memperturutkan hawa nafsunya, Kerajaan Usmani pada masanya berhasil menyerbu Kaukasus dan menguasai Tiflis di Laut Hitam (1577 M), merampas kembali Tabriz, ibu kota Safawi, menundukkan Georgia, mencampuri urusan dalam negeri Polandia, dan mengalahkan gubernur Bosnia pada tahun 1593 M.10 Namun, kehidupan moral Sultan yang jelek menyebabkan timbulnya kekacauan dalam negeri.
3.      Sultan Muhammad III (1595-1603 M)
Sultan Muhammad III membunuh semua saudara laki-lakinya berjumlah 19 orang dan menenggelamkan janda-janda ayahnya sejumlah 10 orang demi kepentingan pribadi.11 Dalam situasi yang kurang baik itu, Austria berhasil memukul Kerajaan Usmani.
 

9Badri Yatim, Op. Cit, hlm 163
10Ibrahim Hassan Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta, Kota Kembang, 1989, hlm. 339
11Carl Brockkmann, History of the Islamic Peoples, London, Routledge & Kegan Paul, 1982, hlm. 328
4.      Sultan Ahmad I (1603-1617 M)
Sultan Ahmad I sempat bangkit untuk memperbaiki situasi dalam negeri, tetapi kejayaan Kerajaan Usmani di mata bangsa-bangsa Eropa sudah memudar.
5.      Sultan Mustafa I, masa pemerintahan pertama (1617-1618), dan kedua (1622-1623 M)
Keadaan kerajaan Usmani semakin memburuk karena gejolak politik dalam negeri tidak dapat diatasinya, Syaikh al-Islam mengeluarkan fatwa agar Sultan Mustafa I turun dari tahta.
6.      Sultan Usman II (1618-1622 M)
Sultan Usman II juga tidak mampu memperbaiki keadaan. Dalam situasi demikian, bangsa Persia bangkit mengadakan perlawanan merebut wilayahnya kembali. Kerajaan Usmani sendiri tidak mampu berbuat banyak dan terpaksa melepaskan wilayah Persia tersebut.
7.      Sultan Murad IV (1623-1640 M)
Langkah-langkah perbaikan kerajaan mulai diusahakan oleh Sultan Murad IV. Pertama-tama ia mencoba menyusun dan menertibkan pemerintahan. Pasukan Jenissari yang pernah menumbangkan Usman II dapat dikuasainya. Akan tetapi, masa pemerintahannya berakhir sebelum ia berhasil menjernihkan situasi negara keseluruhan.
8.      Sultan Ibrahim (1640-1648 M)
Sultan Ibrahim termasuk orang yang lemah. Pada masanya ini orang-orang Venetia melakukan peperangan laut dan berhasil mengusir orang-orang Turki Usmani dari Cyprus dan Creta tahun 1645 M. Kekalahan itu membawa Muhammad Koprulu sebagai wazir yang diberi kekuasaan penuh.12 Ia berhasil mengembalikan peratuaran dan mengkonsolidasikan stabilitas keuangan negara. Setelah Koprulu meninggal (1661 M), jabatannya dipegang oleh anaknya, Ibrahim. Ibrahim menyangka bahwa kekuatan militernya sudah pulih, namun Ibrahim selalu kalah dalam peperangan. Usmani yang luas itu sedikit demi sedikit terlepas dari kekuasaannya dan direbut oleh negara-negara Eropa.
12Hassan Ibrahim Hassan, Loc. Cit.
Tahun 1699 M terjadi Perjanjian Karlowith yang memaksa Sultan untuk menyerahkan seluruh Hongaria, sebagian besar Slovenia dan Croasia kepada Hapsburg; dan Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia kepada orang Venetia. Tahun 1770 M, tentara Rusia mengalahkan armada kerajaan Usmani di sepanjang pantai Asia Kecil.
9.      Sultan Mustafa III (1757-1774 M)
Pada masa pemerintahan Sultan Mustafa, berhasil memukul mundur kembali tentara Rusia.
10.  Sultan Abd al-Hamid (1774-1789 M)
Sultan Abd al-Hamid seseorang yang lemah. Tidak lama naik tahta, di Kutchuk Kinarja ia mengadakan perjanjian yang dinamakan “Perjanjian Kinarja” dengan Catherine II dari Rusia, yang isinya:
v  Kerajaan Usmani harus menyerahkan benteng-benteng yang berada di Laut Hitam kepada Rusia dan memberi izin kepada armada Rusia untuk melintasi selat yang menghubungkan Laut Hitam dengan Laut Putih; dan
v  Kerajaan Usmani mengakui kemerdekaan Kirman (Crimea).13
Faktor yang menyebabkan Kerajaan Usmani mengalami kemunduran, yaitu:
1.    Wilayah yang sangat luas, sementara administrasinya tidak beres.
2.    Heterogenitas penduduk.
3.    Kelemahan para penguasa.
4.    Budaya pungli.
5.    Pemberontakan tentara Jenissari.
6.    Merosotnya ekonomi.
7.    Terjadinya stagnasi dalam lapangan ilmu dan teknologi.14
Demikianlah proses kemunduran kerajaan besar Usmani. Pada masa selanjutnya, kelemahan kerajaan ini menyebabkan kekuatan-kekuatam Eropa tanpa segan-segan menjajah dan menduduki daerah-daerah muslim yang dulunya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Usmani, terutama di Timur Tengah dan Afrika Utara.
 

13Carl Brockkmann, Op. Cit, hlm. 336
14Badri Yatim, Op. Cit, hlm. 167-168
III.          PENUTUP
Kesimpulan
Keruntuhan tiga kerajaan islam ini umumnya ditandai oleh konflik dalam kalangan keluarga kerajaan yang saling berebut kekuasaan. Hal ini mengakibatkan sistem pemerintahan dan keluasan wilayah yang telah berhasil dibangun pada masa sebelumnya menjadi tidak berarti lagi karena para penerusnya lebih sibuk untuk saling merebut kekuasaan dari tangan keluarganya sendiri.
Masalah ekonomi juga sangat berperan, seperti misalnya kedatangan Inggris di Mughal sangat mempengaruhi kehidupan ekonomi istana yang pada ujungnya malah bergantung kepada Inggris. Demikian pula di Turki Usmani, sikap boros dan hidup kemewahan berbanding lurus dengan kekalahan demi kekalahan yang dialami sehingga membuat kas negara berwarna merah karena tak mendapatkan ghanimah maupun wilayah baru.
Sistem politik juga sangat mempengaruhi, di Safawi misalnya kebijakan memaksakan madzhab syi’ah membuat secara politik orang-orang Sunni tidak senang dan akhirnya justru memberontak melepaskan diri dari kekuasaan Safawi dan bahkan Sunni melalui suku Afghan berhasil menguasai wilayah Safawi.
Ambisi perluasan wilayah juga mengakibatkan kehancuran Turki Usmani itu sendiri karena tenyata semangat juang lagi sekuat dulu. Demikian juga Ghulam di Safawi tidak memiliki semangat seperti Qizilbash, demikian pula generasi Qizilbash selanjutnya tidak seperti generasi Qizilbash terdahulu.
Kelemahan teknologi yang sangat mencolok membuat perlawanan di Mughal maupun usaha mempertahankan diri oleh Turki Usmani mengalami kegagalan karena bangsa Eropa pada saat itu telah memiliki perangkat perang yang selangkah lebih maju dibandingkan dengan yang dimiliki oleh dua kerajaan tersebut.






DAFTAR PUSTAKA

1.        Yatim, Badri. 2004. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
2.        Hamka. 1981. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang
3.        Holt, P. M, dkk. 1970. The Cambridge History Of Islam. London: Cambridge University Press
4.        Hassan, Ibrahim Hassan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang
5.        Brockkmann, Carl. 1982. History of the Islamic Peoples. London: Routledge & Kegan Paul



No comments:

Post a Comment