AL-MUHASIBI
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Tasawuf
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Abdul Hadi, MA
Disusun Oleh:
Nama : Ahmad Khoirul Badar
NIM : 210 205
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
SYARI’AH/EI
2011
AL-MUHASIBI
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam
mengajarkan kepada kita, jika ingin menjadi manusia yang lebih baik, maka
mulailah dengan instropeksi diri dan kembali kepada Allah SWT. Selain itu,
contohlah perbuatan baik dari para pendahulu yang diberi petunjuk oleh Allah
SWT.
Menyikapi
hal diatas, maka kita dapat melihat riwayat hidup Syekh Al-Al-Muhasibi yang
dapat dijadikan sebagai tauladan dalam kehidupan.
B. Rumusan Masalah
1. Biografi Singkat Al-Muhasibi
2. Pandangan Tasawuf Al-Muhasibi
3. Nasehat-nasehat Al-Muhasibi
4.
Kisah Dialogh Al-Muhasibi Dengan Gurunya
5. Keteladanan Al-Muhasibi
II.
PEMBAHASAN
A. Biografi Singkat Al-Muhasibi
Al-Muhasibi
bernama lengkap Abu Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi
Al-Muhasibi, namun beliau lebih dikenal dengan nama Al-Muhasibi. Beliau
dilahirkan di Bashrah, Irak, pada tahun 165 H/781 M. dan wafat di Bashrah
(Irak) pada tahun 243 H/857 M. Nama "Al Muhasibi" mengandung
pengertian "Orang yang telah menuangkan karya mengenai kesadarannya".
Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela ajaran rasionalisme muktazilah.
Namun belakangan dia meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme dimana
dia memadukan antara filsafat dan teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi
adalah tokoh intelektual yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi
menulis sebuah karya "Ri'ayah Li Huquq Allah", karya mengenai praktek
kehidupan spiritual.1
1http://www.mail-archive.com/tasawuf@server03.abangadek.com/msg00017.html,
diunduh 03/03/2011, 14:27
B. Pandangan Tasawuf Al-Muhasibi
Al-Harits
bin Asad Al-Muhasibi (w.243 H) menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari
keraguan yang dihadapinya. Tatkala mengamati madzhab-madzhab yang dianut umat
islam. Al-muhasibi menemukan kelompok didalamnya. Diantara mereka ada
sekelompok orang yang tahu benar tentang keakhiratan, namun jumlah mereka
sangat sedikit. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang mencari ilmu
karena kesombongan dan motivasi keduniaan. Diantara mereka terdapat pula
orang-orang terkesan sedang melakukan ibadah karena Allah,tetapi sesunguhnya
tidak demikian.
Al-Muhasibi
memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada
Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’, dan meneladani Rasulallah.
Menurut Al-Muhasibi, tatkala sudah melaksanakan hal-hal diatas, maka seorang
akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf. Ia
akan meneladani Rasulallah dan lebih mementingkan akhirat dari pada dunia.
1. Pandangan Al-Muhasibi tentang ma’rifat
Al-Muhasibi
berbicara pula tentang ma’rifat. Ia pun menulis sebuah buku tentangnya, namun,
dikabarkan bahwa ia tidak diketahui alasannya kemudian membakarnya. Ia sangat
berhati-hati dalam menjelaskan batasa-batasan agama,dan tidak mendalami
pengertian batin agama yang dapat mengaburkan pengertian lahirnya dan
menyebabkan keraguan. Inilah yanfg mendasarinya untuk memuji sekelompok sufi
yang tidak berlebih-lebihan dalam menyelami pengertian batin agama. Dalam
konteks ini pula ia menuturkan sebuah hasits Nabi yang berbunyi, “ pikirkanlah
makhluk-makhluk Allah dan jangan coba-coba memikirkan Dzat Allah sebab kalian
akan tersesat karenanya.” Berdasarkan hadits diatas dan hadis-hadis senada,
Al-Muhasibi mengatakan bahwa ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang
mendasarkan pada kitab dan sunnah. Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan
ma’rifat sebagai berikut:
v Taat, awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat, yaitu wujud
kongkrit ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah dapat dibuktikan
dengan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan kecintaan semata sebagaimana
dilakukan oleh sebagian orang. Mengekspresikan kecintaan kepada Allah hanya
dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengamalan merupakan kepalsuan semata. Diantara
implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi hati dengan sinar. Kemudian
sinar ini melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain.
v Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang
memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.
v Pada tahap ketiga ini Allah menyingkapkan khazanah-khazanah
keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap
diatas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.
v Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi dan
fana’ yang menyebabkan baqa’.
2. Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’
Dalam
pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati
posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia memasukkan
kedua sifat itu dengan etika-etika, keagamaan lainnya.yakni, ketika disifati
dengan khauf dan raja’, seseorang secara bersamaan disifati pula oleh
sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’ , menurutnya, adalah ketakwaan pangkal
ketakwaan adalah introspeksi diri (musabat al-nafs) ; pangkal introspeksi diri
adalah khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentanga
janji dan ancaman Allah; pangakal pengetahuan tentang keduanya adalah
perenungan.
Khauf
dan raja’, menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan sempurna bila berpegang
teguh pada Al-Qur’an dan As-sunnah. Dalam hal ini, ia mengaitkan kedua sifat
itu dikaitkan dengan ibadah dan janji serta ancaman Allah. Untuk itu, ia
menganggap apa yang diungkapkan ibnu Sina dan Rabi’ah al-‘adawiyyah sebagai
jenis fana atau kecintaan kepada Allah yang berlebih lebihan dan keluar dari
garis yang telah di jelaskan Islam sendiri serta bertentangan dengan apa yang
diyakini para sufi dari kalangan ahlusunnah, Al-muhasibi lebih lanjut
mengatakan bahwa Al-quran jelas berbicara tentang pembalasan (pahala) dan
siksaan.Ajakan ajakan Al-quran pun sesungguhnya dibangun atas dasar targhib
(suggesti) dan tarhib (ancaman).
Raja’,
dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal shaleh. Seseorang yang
telah melakukan amal saleh, berhak mengharap pahala dari allah. Dan inilah yang
dilakukan oleh mukmin yang sejati dan para sahabat Nabi.2
C. Nasehat-nasehat Al-Muhasibi
Apabila
motivasi dalam mengajari dan membantu orang adalah ridha Allah semata, pahala
pasti didapat. Tetapi jika motivasinya adalah hasrat untuk dihormati, dikagumi,
dipuji dan diberi keuntungan duniawi, jangan lakukan kebaikan itu hingga
motivasi anda berubah, sebab apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih
kekal. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Qoshosh ayat 60, yang
artinya: ”Dan apa saja yang
diberikan kepada kamu, Maka itu adalah ke- nikmatan hidup duniawi dan
perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal.
Maka apakah kamu tidak memahaminya?”
Kalau
hati kacau karena kedua motivasi silih berganti mengisi relung hati, jangan
memaksakan diri hingga motivasi benar-benar mengharapkan ridha Allah Swt.
Jikalau
melakukan ibadah ritual atau ibadah social dengan ikhlas, lalu ada orang yang
melihat hingga timbul semangat untuk meningkatkan kualitas ibadah, ada dua
kemungkinan :
1. Kalau motivasi peningkatan kualitas adalah ria,
2. Kalau motivasinya ikhlas, pasti menjadi pengikhlas sejati.
Apabila
ragu dan tidak tahu sedang ria atau masih ikhlas, perbaharuilah niat dengan
keikhlasan! Meskipun tidak memperbaharui niat, ibadah tetap sah, karena yakin akan
ikhlas dan ragu akan ria.
2http://www.tipskom.co.cc/2009/09/al-muhasibi-pandangan-tasawufnya.html,
diunduh 03/03/2011, 14:39
Ikhlas
dan ria pada hakikatnya adalah hasrat yang membonceng keinginan beribadah.
Keinginan beribadah adalah hasrat melaksanakan perintah. Ikhlas adalah
mendambakan pahala Allah Swt semata dan tidak peduli dengan keadaan duniawi.
Ria adalah ambisi mendapatkan pujian, kehormatan dan tujuan-tujuan lain dalam
beribadah.
Ada
orang yang tidak tenang karena dipuji orang atas ibadah yang dilakukannya. Jalan
keluarnya adalah mencermati jiwa. Kalau jiwanya tidak suka dan hatinya gelisah
ketika dicela, dihina dan dilecehkan masyarakat, jelas ia telah ria.
Sebaliknya, jika sikap masyarakat tidak mempengaruhi kalbunya, ia ikhlas.
Mungkin pada awalnya ia ria dan senang dipuji, tetapi kemudian terlintas
kesadaran untuk mengabaikan pujian, masih bisa dikategorikan ikhlas.3
D.
Kisah Dialogh Al-Muhasibi Dengan Gurunya
Imam
Syekh al-Muhasibi bertanya pada gurunya Syekh Abu Ja'far Muhammad ibn Musa, “Wahai
Syekh Abu Ja'far, apa yang pertama harus ku lakukan untuk sampai kepada Allah?”
Gurunya
menjawab, "Kembali kepada Allah, sebagaimana yang telah
dikehendaki-Nya"
Syekh al-Muhasibi bertanya lagi, "Apa makna kembali kepada Allah?"
Syekh al-Muhasibi bertanya lagi, "Apa makna kembali kepada Allah?"
Gurunya
menjawab, "Bertaubat wahai anakku, sebagaimana yang dijelaskan Sa'id ibn
Jubair ketika menjelaskan firman Allah, "Tuhanmu lebih mengetahui apa yang
ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha
Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat. (QS. al-Isro' : 25).
Syekh
al-Muhasibi bertanya, "Apa makna taubat?"
Gurunya
menjawab, "Taubat adalah menyesali perbuatan buruk (dosa) yang telah
dilakukan, meneguhkan hati untuk tidak melakukannya lagi, dan menjauhi setiap
hal yang mendorong pada perbuatan itu, sebagimana firman Allah SWT dalam surat
Al-Imron ayat 135, yang artinya: “Dan
(juga) orang
3http://www.alfurqon.or.id/component/content/article/356-nasehat-nasehat-al-harits-al-muhasib,
diunduh 03/03/2011, 14:52
orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri[229], mereka ingat akan
Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”
Syekh
al-Muhasibi bertanya, "Apa yang harus dilakukan oleh orang yang bertaubat?"
Gurunya
menjawab, "Meninggalkan semua perbuatan dosa, memalingkan hati dari hasrat
berbuat dosa, meninggalkan sikap munafik demi keuntungan pribadi, menghindari
perselisihan dan mengikuti pendapat yang benar meskipun harus rela berkorban,
mengembalikan hak-hak orang yang telah diambilnya secara dzalim, dan menunaikan
semua kewajibannya baik kepada Allah maupun kepada manusia, Allah SWT berfirman
dalam surat al-Baqoroh ayat 160 yang artinya: “Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan
menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan
Akulah yang Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Syekh
al-Muhasibi bertanya, "Lalu apa yang harus dilakukan setelah itu?"
Gurunya
menjawab, "Memperbaiki makanannya (harus makan makanan yang jelas-jelas
halal) karena makanan dapat mempengaruhi tingkah laku. Fungsi makanan seperti
akal (hati) yang menggerakkan aktivitas raga. Jika akal seseorang baik, maka
baik pula seluruh aktivitas raganya. Makanan yang baik (halal dan berkah) akan
memudahkan seseorang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang layak dilakukan oleh
orang-orang yang taat kepada Allah".
Syekh
al-Muhasibi bertanya, "Lalu apa yang harus dilakukan setelah itu?"
Gurunya
menjawab, "Menyesali apa yang telah diperbuat dan memperbaiki apa yang
akan dilakukan, beristighfar dengan lisan atas dosa-dosa yang telah lalu dan
menghilangkan sama sekali keinginan berbuat dosa, berketetapan hati untuk tidak
kembali lagi pada perbuatan yang haram, dan menyesali perbuatan dosa yang telah
dikerjakan sambil memohon kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Jika hal itu
terus-menerus dilakukan, sangat mungkin Allah akan menerima taubatnya"
Syekh
al-Muhasibi bertanya, "Apa yang menggerakkan seorang hamba untuk bertaubat?
Kapan hatiku ini merasa mantap bahwa taubat diwajibkan atasku? Dan kapan aku
merasa takut bahwa taubat akan terlewatkan dariku?
Gurunya
menjawab, "Dengan mengenali Allah, seorang hamba akan segera mengetahui
kewajiban bertaubat, setelah ia melakukan dosa, Allah SWT berfirman, "Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung." (QS. An-Nur : 31) dan firman-Nya, "Hai orang-orang
yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang
semurni-murninya)" (QS. At-Tahrim : 8).
Guru Syekh
al-Muhasibi (Syekh Abu Ja'far) melanjutkan fatwanya, "Wahai Pemuda, barang
siapa yang tidak mengenal Allah, dia tidak akan mampu mengambil pelajaran
kebijaksanaan. Tidakkah kamu mendengar Firman Allah, "Dan barangsiapa
yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS.
al-Hujurot : 11). Maka,sesungguhnya Allah telah mewajibkan taubat kepadamu, dan
Dia juga mengaitkan kamu dengan kedzaliman, jika kamu tidak meninggalkannya.
Oleh karena itu, hendaklah seorang hamba mewajibkan atas dirinya bertaubat dan
menakut-nakuti dirinya dengan siksa Allah, jika meninggalkan taubat.”
Syekh
al-Muhasibi bertanya, "Apa yang menguatkanku kewajiban bertaubat
ini?"
Gurunya
menjawab, "Hendaknya hati senantiasa mengetahui bahwa ajal itu sangat
dekat dan datangnya kematian adalah secara tiba-tiba. Hati juga dilatih untuk
khawatir terhadap harapan ampunan Allah yang belum tentu dikabulkan, dan membiasakan
diri untuk takut akan adzab Allah yang segera menimpanya, jika ia terus-menerus
mengerjakan perbuatan dosa. Wahai anakku, janganlah kamu menunda taubat, karena
sesungguhnya datangnya kematian adalah secara tiba-tiba. Yang dapat menguatkan
tekadmu untuk bertaubat ada 3 perkara, yaitu:
1. Mengingat dosa yang lalu dengan mengurangi makan dan minum (rajin
berpuasa).
2. Berupaya sekuat tenaga untuk melaksanakan kemauan taubat sambil terus-menerus
mengingat mati.
3. Berpegang pada 2 perkara di atas dan tidak melupakan keduanya
sehingga memudahkanmu untuk mengingat mati, dosa dan taubat".
Syekh
al-Muhasibi bertanya, "Apa yang menggerakkan seseorang untuk bertaubat dan
bangkit dari kelengahan?”
Gurunya
menjawab, "Hendaklah dia senantiasa berada dalam keadaan takut akan siksa
Allah (neraka) dan mengharapkan apa yang dijanjikan-Nya (surga). Sebab Allah
SWT menyerukan kepada hamba-hambaNya untuk meraih janji-Nya dan menjauhi
ancaman-Nya. Allah SWT menakut-nakuti mereka dengan siksaan yang pedih, dan
memotivasi mereka dengan kerinduan memperoleh surga yang dijanjikan. Inilah yang
menggerakkan hati seorang hamba untuk bertaubat. Dia juga mengimbau mereka untuk
selalu memperbaiki akhlaknya dan keutamaan dirinya."
Syekh
al-Muhasibi bertanya,Apa tanda ketulusan dalam taubatnya seseorang?
Gurunya
menjawab, “Selalu bersedih atas umur yang telah dihabiskan untuk kesia-siaan
dan permainan; selalu khawatir, apakah taubatnya diterima apa tidak; Merasa
kurang atas ibadah yang telah dipersembahkan kepada Allah dalam keadaan
bersedih hati; Terus bersungguh-sungguh dalam mengerjakan amal soleh sambil
merasa takut, jika taubatnya tidak diterima, Bersegera menuju ampunan Allah
sambil merasa takut akan bujukan nafsu dan kenikmatan semu perbuatan dosa
sehingga bumi menjadi sempit baginya, meskipun (sebenarnya) luas, Mengetahui bahwa
tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah karena semua tempat adalah milik-Nya.
Allah SWT berfirman, "dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan
(penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi
mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa)
oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari
(siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka
agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang. (QS. At-Taubah : 118). Inilah kriteria orang yang bertaubat
dengan ketulusan jiwanya".
Syekh
al-Muhasibi bertanya, "Adakah yang lain selain itu semua?"
Gurunya
menjawab, "Ya, orang yang bertaubat harus memahami bahwa taubat adalah
anugerah Allah SWT. Keinginan untuk bertaubat merupakan hidayah dan taufik-Nya,
sehingga hati akan teguh melakukan amal saleh karena Allah. Anugrah yang ada dalam
taubat berasal dari ruh makrifat-Nya".
Syekh
al-Muhasibi bertanya, "Jika telah sampai derajat ini, apakah orang yang
bertaubat masih diharuskan melakukan sesuatu?"
Gurunya
menjawab, "Ya, dia harus melakukan sesuatu yang tidak boleh
ditinggalkannya, yaitu bersyukur kepada Allah atas anugerah taubat itu. Ini
adalah suatu karunia utama Allah yang dianugerahkan kepadanya".
Imam
masuk ke bab dua setelah materi "Taubat" adalah materi
"Kelemahan Jiwa (Fitrah)"
Syekh
al-Muhasibi bertanya, "Apa yang terjadi setelah taubat?".
Gurunya
menjawab, "Kembali kepada perbuatan dosa yang sama karena kelemahan jiwa
untuk menjauhinya (fatrah)".
Syekh
al-Muhasibi bertanya, "Wahai Syaikh, bagaimana permulaan terjadinya
kelemahan jiwa itu?"
Gurunya
menjawab, "Dorongan-dorongan nafsu dan syahwat muncul dalam diri
seseorang. Lalu, dorongan-dorongan itu mendapat sambutan dari dalam jiwanya.
Kemudian, jiwa itu merasa nyaman dalam keadaan lemah (fatrah), dan akhirnya ia pun
meninggalkan ketekunan dan kerja keras dalam menghindari perbuatan dosa.
Syekh al-Muhasibi
bertanya, "Bagaimana kelemahan jiwa bisa menjadi kuat?
Gurunya
menjawab, "Dari sedikitnya pengetahuan tentang manfaat taubat dan sikap
meremehkan anugerah besar (hidayah taubat) yang Allah berikan kepadanya.”
Syekh
al-Muhasibi bertanya, "Dari mana seseorang mendapat kelemahan seperti
ini?"
Gurunya
menjawab, "Dari percampuran hati dengan berbagai kesenangan dunia dan
keseringan mengerjakan yang ringan (rukhsoh). Pada saat itu dia cenderung pada
kelemahan jiwa (fatrah) dan kelalaian bertaubat, sehingga menjadi tawanan hawa
nafsunya."
Syekh
al-Muhasibi bertanya, "Apa tanda fatrah itu? dan apakah hati dapat
mengenalinya?"
Gurunya
menjawab, "Ya, wahai Pemuda, permulaan fatrah adalah kemalasan. Jika ada
penjagaan yang kuat, lenyaplah kemalasan itu. jika tidak, kemalasan akan terus
meningkat dan timbullah hasrat untuk melakukan perbuatan dosa. jika rasa
takutnya menguat, ia akan menjadi penghalang bg dirinya agar tidak kembali pada
perbuatan dosa. akan tetapi jika tidak, hasrat kembali untuk melakukan
perbuatan dosa akan bertambah kuat, dan dia akan lari dari ketaatan, kecuali
jika niat yang kuat untuk kembali kepada ketaatan masih ada dalam hatinya. jika
tidak, ia akan menjadi orang yang sesat. Dan kita memohon perlindungan kepada
Allah dari hal semacam itu." "Jika telah tersesat, dia keluar dari
rasa takut (kepada Allah) dan masuk ke dalam rasa aman yang menghanyuntukan.
lalu, perbuatan dosanya akan meluas hingga ke tempat-tempat yang membinasakan
orang banyak. Pada saat itu tersingkaplah tirai keadilan Ilahi karena Dia
membeberkan kejelekannya di hadapan semua orang. Hal yang demikian ini terjadi
disebabkan oleh sedikitnya introspeksi diri (muhasabah)".
Imam
masuk ke bab 3 kitab "al-Qosdu wa al-Rujuu ilaa Allah" yaitu bab
muhasabah (Instrospeksi Diri)
Syekh al-Muhasibi,
"Apa makna muhasabah (instropeksi diri)?"
Gurunya
menjawab, "Akal selalu menjaga nafsu dari pengkhianatannya, mengetahui
kekurangan diri, dan menilai baik buruknya perbuatan yang telah
dikerjakan"
Syekh
al-Muhasibi berkata, "Jelaskanlah kepadaku mengenai muhasabah ini secara
detail?"
Gurunya
menjawab, "Hadapkanlah semua perbuatan yang telah kamu lakukan di
hadapanmu. lalu kamu bertanya, 'mengapa aku harus melakukan ini?' atau katakan kepada
dirimu 'siapakah aku yang melakukan perbuatan ini?' maka, jika perbuatan itu
karena Allah, teruskanlah perbuatan itu. akan tetapi, jika karena selain-Nya,
cegahlah perbuatan itu. celalah dirimu karena ia telah mengikuti dorongan hawa
nafsu dan hukumlah ia atas perbuatan itu, dengan demikian kamu akan mengetahui
keburukan akalmu dan kamu harus menilai kebodohannya. kamu juga telah
mengetahui bahwa nafsu adalah musuhmu karena ia telah menggelincirkanmu dalam
dosa dan telah mengajakmu untuk memutuskan hubungan dengan Penciptamu".
Syekh
al-Muhasibi : "Dari mana sumber muhasabah itu ?"
Gurunya :
"Dari takut akan kekurangan, buruknya kerugian, dan keinginan untuk
mendapat kelebihan didalam keuntungan. Teman sejati akan mempertimbangkan kepada
siapa dia bergaul karena khawatir mendapatkan kerugian. Dia berharap mendapatkan
keuntungan yang berlimpah dari dagangannya. Hal ini seperti yang ditanyakan
oleh Nabi Yunus as. kepada salah seorang perempuan ahli ibadah, "Dengan
apa kamu mendapatkan kelebihan?" Perempuan ahli ibadah itu menjawab,
"Dengan mencari Tuhan dan muhasabah".
Syekh
al-Muhasibi: “Apa makna ucapan Umar bin Khottob "Hisablah dirimu sebelum
kamu dihisab ?"
Gurunya : “Instropeksi
diri dan mempertimbangkan segala hal yang dapat menjerumuskan jiwa dalam
kebathilan, walaupun hanya seberat biji sawi"
Syekh
al-Muhasibi: "Apakah buah dari muhasabah (instropeksi diri) itu ?"
Gurunya:
"Bertambahnya kepandaian dan kecerdasan dalam memberikan argumentasi. dengan
instropeksi pengetahuan seseorang akan bertambah luas. dan ini bergantung pada
kecakapan hati dalam mengevaluasi diri".
Syekh
al-Muhasibi: "Apa yang dapat menguatkan seorang hamba untuk melakukan
muhasabah?"
Gurunya: "Dengan
tiga hal, pertama, memutuskan sgl hubungan yang dapat menyibukkan dirinya dari
kemauan kuat melakukan muhasabah. sebab orang yang ingin menghitung hutangnya,
dia harus mengosongkan hatinya dari setiap kesibukan. Kedua, menyendiri dalam
muhasabah sehingga dia khawatir tidak mencapai apa yang diharapkan dari
muhasabah itu, dan Ketiga, takut kepada Allah SWT yang akan menanyai
perbuatannya yang melampaui batas. Nabi saw. bersabda, "Hendaklah seorang
mukmin memerhatikan saat-saat ketika menghisab dirinya (HR. Abu Ya'la dan
al-Bazzar dari Abu Hurairah)".
Syekh
al-Muhasibi : “Dalam muhasabah, mengapa hati dapat dikalahkan?"
Gurunya : "Karena
hawa nafsu dan syahwat mampu menguasainya. Hawa nafsu dan syahwat adalah lawan
kearifan, ilmu dan kebenaran. akibatnya, hati dikalahkan dan dibutakan dari
kearifan".
Syekh
al-Muhasibi: “Beritahukanlah kepadaku tentang hawa nafsu yang dapat menghalangi
hati dari muhasabah ?"
Gurunya : "Hawa
nafsu yang selalu bergantung pada syahwat dan cenderung pada kesenangan. hawa
nafsu ini mempunyai kemampuan melemahkan jiwa dan menguasai hati sehingga
mengikuti ajakannya".
Syekh
al-Muhasibi : "Bagaimana caranya aku menghukum nafsuku atas dosa yang
dilakukannya?"
Gurunya:
"Pisahkanlah antara ia dan kesukaannya; ambillah cambuk untuk menakutinya;
lakukanlah pengawasan secara terus-menerus setiap gerakannya; kurangilah
makanannya; biarkanlah ia dalam kehausan; sibukkanlah ia dengan kerja keras;
tahanlah amarahnya dengan ancaman yang memberinya pelajaran. Dengan semua itu,
kamu dapat menundukkan kekuatannya dalam melemahkan jiwa dan penguasaannya
terhadap hati. Wahai Pemuda, ketahuilah, pada saat itu nafsumu menjadi hina, ia
akan tunduk kepadamu setelah kekuatannya lenyap, dan kekuasaannya hilang. dan,
ia akan menempuh jalan yang lurus dan konsisten menapakinya (istiqomah) menuju
Penciptanya. hanya kepada Allahlah kita memohon pertolongan (taufiq)".
Syekh
al-Muhasibi : “Wahai Syekh, Anda telah menerangkan kepadaku tentang melawan
hawa nafsu, faktor apakah yang dapat menguatkan seorang hamba untuk mengusir
musuh-musuh jiwa, hawa nafsu dan setan?"
Gurunya:
"Faktor utama yang paling kuat adalah kesadaran seorang hamba tentang
kewajiban yang telah ditetapkan Allah kepadanya, yaitu senantiasa memerangi
hawa nafsu. Allah SWT. berfirman, "Sesungguhnya setan adalah musuh bagimu,
maka anggaplah dia musuh (QS. Fathir : 6) dan firman-Nya, "Barang siapa yang
mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya setan hanya menyuruh perbuatan yang
keji dan mungkar (QS. Nur : 21). Kedua ayat tsb adalah argumentasi yang dapat
meneguhkan seseorang dalam memerangi musuh-musuhnya. Allah Azza wa Jalla telah
mewajibkan hamba-hambanya untuk memusuhi setan. dan Dia juga memerintahkan
mereka untuk memeranginya. inilah faktor yang menguatkanmu melawan musuhmu.
jika kamu lengah, musuhmu akan mengalahkanmu dan menghalangimu beribadah
kepada-Nya. Bukankah kamu tahu bahwa Allah telah mewajibkan kamu untuk melawan
musuhmu dan memerintahkanmu untuk memeranginya? maka, jika kamu telah
mengetahuinya, jiwamu akan teguh melawannya, kemarahanmu akan melemahkan
mentalnya, dan perhatianmu dalam mengendalikan nafsumu akan membantu
mengalahkannya. Akan tetapi, ingatlah bahwa musuhmu selalu memperbesar peluang untuk
menjatuhkanmu. dia akan terus menggodamu sehingga dapat mengalahkanmu. pada
saat itu, kamu khawatir akan kemenangannya dalam menggodamu dan mengajakmu pada
kemaksiatan yang dipicu oleh nafsumu. baik kamu sadari atau tidak, dia akan
berusaha untuk menghancurkanmu, menjatuhkan martabatmu di hadapan Tuhanmu,
memburukkan citramu, menghilangkan keyakinanmu, dan melemahkan ketulusanmu untuk
melawannya."
Syekh
al-Muhasibi : "Jelaskanlah kepadaku perbuatan apa yang dapat menolongku untuk
melawan dan menolak godaannya?"
Gurunya :
"Pahamilah dan bedakanlah antara dua seruan, yaitu seruan yang berasal
dari Allah, dan seruan dari iblis, kemudian, perhatikanlah baik-baik, seruan
manakah di antara kedua seruan itu yang lebih utama kamu penuhi. apakah yang
lebih layak kamu penuhi adalah seruan yang mengajakmu pada kebinasaan, kerugian
sepanjang hidupmu, dan kefakiran yang membuatmu takut mengahadapinya? ataukah yang
lebih layak kamu penuhi adalah seruan Tuhan yang telah memberimu kenikmatan yang
sejak azali selalu mengingatmu dan tidak pernah melupakanmu sesaat pun.
bukankah Dia yang dalam keabadian-Nya mengkhususkanmu dengan keyakinan terhadap
yang gaib? bukankah dia yang telah menyerumu untuk meraih surga-Nya dan
kemuliaan-Nya? dan untuk menikmati kelembutan kebijaksanaan-Nya dan
kesempurnaan nikmat-Nya? Sesungguhnya musuhmu menghendaki terputusnya
hubunganmu dengan Allah, Tuhan dan Tuanmu. ia telah memasang banyak perangkap yang
dapat menjeratmu dalam dosa dan menjatuhkan citramu sebagai hamba-Nya. di antara
perangkap itu adalah prasangka yang buruk, cepat menyerah dan putus asa,
keragu-raguan dalam keimanan. Tipu dayanya sangat lihai dan jerat-jeratnya
sangat halus dan kuat sehingga ketika ia menipu dan menjeratmu, kamu tidak
merasakan bahwa kamu dalam tawanannya. dan kamu pun tidak merasa telah
melakukan kesalahan dan dosa."Allah SWT. berfirman, "Aku mendapati
dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah dan setan telah menjadikan
mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu menghalangi mereka dari
jalan) yang benar (sehingga mereka tidak dapat petunjuk” (QS. An-Naml : 24)
“Dan (juga) kaum `Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu
(kehancuran mereka) dari (puing-puing) tempat tinggal mereka. Dan syaitan
menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia
menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang yang
berpandangan tajam.” (QS. Al-Ankabut : 38). Ketahuilah musuhmu ingin
menjauhkanmu dari kedekatan dengan Allah, pahala yang banyak dan nikmat-Nya yang
utama. ia memberi keraguan dalam dadamu, menghilangkan ketenangan dalam jiwamu
dan menciptakan kebingungan dalam hatimu. ia telah mencabut kesabaranmu dan
menggantinya dengan kegelisahan. ia telah merebut keridhoanmu atas
keputusan-Nya dan menggantikan kebencian kepada-Nya. ia telah melemahkan
ketekunanmu dalam beribadah kepada-Nya dan mengganti dengan kemalasan. Musuhmu
telah menghalangimu untuk memperoleh keyakinan dan keteguhan dalam jaminan
rezeki, kecukupan dan perlindungan Allah karena keimananmu dan ketaatanmu
kepada-Nya. ia telah mengajarimu kekikiran, menakut-nakutimu dengan kefakiran
dan panjang angan-angan, berburuk sangka terhadap janji Tuhan dan melemahkan
niatmu. Ia telah merusak ketetapan-ketetapan hatimu, menunda-nunda keinginanmu untuk
bertaubat, menghalangimu dari menyambut seruan Tuhan, dan ingin menjatuhkanmu
di sisi Penciptamu Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi."
Syekh
Al-Muhasibi: “Mungkinkah seseorang menerima ajakan orang yang membencinya dan
menaati orang yang akan membinasakannya?"
Gurunya: “Mungkin,
sebab seseorang terkadang tidak cermat dalam meneliti sikap keberagamaannya. ia
memahami pokok-pokok agama, tetapi tergelincir karena meremehkan hal-hal kecil yang
diutamakan oleh agama. Disebabkan oleh kelalaiannya, ia bisa saja menentang
hal-hal yang prinsip dalam agama, dan disebabkan oleh pengetahuannya yang
dangkal, ia dapat saja tidak mengetahui kebenaran sejati. Ketika berada dalam
keimanan yang kuat, seseorang mungkin akan membenci musuhnya dan meyakini
kejahatannya. pada waktu itu, ia tidak akan menerima ajakannya, namun ketika ia
lalai, hal sebaliknya dapat saja terjadi. Ingatlah musuh-musuh jiwa (nafsu dan
setan) akan selalu membujukmu dan merayumu. mereka akan mendatangimu sambil
menunjukkan bukti bahwa melakukan kesalahan-kesalahan ringan tidak berbahaya. Mereka
juga meyakinkanmu bahwa mengikuti ajakan dan seruannya tidak membahayakan. lalu
hawa nafsumu tertarik untuk mengikuti bujuk rayunya. Ingatlah di saat rayuan
musuhmu telah kamu turuti, kamu akan terbiasa melakukan dosa-dosa, lalu kamu
akan meremehkan agama dan akhirnya kamu akan menjadi tawanan musuhmu selamanya.
Pada waktu itu matamu akan buta dari melihat kearifan, dan telingamu akan tuli
dari mendengar kebenaran. kamu akan menjadi abdi setan karena telah mematuhi
semua ajakannya. Oleh karena itu enyahkanlah musuhmu; carilah jalan keselamatan
dengan senantiasa melawannya dalam semua keadaan. Rayuan, godaan, dan bujukan
singkirkanlah! waspadalah terhadap semua tipu dayanya. kemudian berpegang
teguhlah pada kewaro'an."
Imam
dan sekarang masuk bab 4 dengan bahasan "Waro' "
Syekh
al-Muhasibi: “Apa makna waro'?
Gurunya:
"Waro' ialah penyelidikan yang dilakukan oleh hati ketika hendak
mengerjakan suatu perbuatan sehingga ia dapat membedakan antara yang hak dan yang
bathil"
Syekh al-Muhasibi
: “Adakah jawaban lain?
Gurunya: “Ya,
menghilangkan apa yang meresahkan hati dan meninggalkan apa yang diragukannya.”
Syekh
al-Muhasibi: “Mohon dijelaskan kembali maksud ucapan anda tadi?”
Gurunya: “Hakikat
waro' adalah meninggalkan apa yang meragukanmu dan melakukan apa yang
meyakinkanmu.”
Syekh al-Muhasibi:
“Dari mana sumber waro' itu?”
Gurunya: “Waro'
bersumber dari rasa takut (murka Allah).”
Syekh al-Muhasibi:
“Apa tanda waro' itu?”
Gurunya: “Meninggalkan
penyakit-penyakit hati dan menyelidiki sebab-sebab yang menimbulkannya.”
Syekh
al-Muhasibi: “Apa yang menguatkan seseorang untuk berbuat waro'?”
Gurunya: “Takut
kepada-Nya. jika takut telah tertanam dalam hatinya, ia akan berbuat waro',
yaitu bersikap hati-hati agar perbuatannya tidak menimbulkan dampak negatif.”
Syeh al-Muhasibi:
“Keadaan apakah yang menambah rasa takut kepadaNya?”
Gurunya: “Mengetahui
kesaksian hati pada kemurkaan Allah dan siksaan-Nya.”
Syekh
al-Muhasibi : “Lalu, apa lagi yang dapat menambahnya ?”
Gurunya: “Wahai
pemuda, pengetahuan waro' itu bersumber dari makrifat, oleh karena itu,
keutamaan waro' bergantung kepada seberapa besar rasa takut yang bersemayam di dalam
jiwa seseorang dan seberapa luas pengetahuan yang dimiliki hatinya. dan waro'
itu sesuai dengan kadar kobaran rasa takutnya.”
Syekh
al-Muhasibi: “Hal apa yang dapat melemahkan sikap waro' ?”
Gurunya: “Kecenderungan
kepada dunia, ketamakan, dan hasrat untuk menguasainya. padahal tidak akan merugi
orang yang kehilangan dunia”
Syekh
al-Muhasibi: “Apa derajat paling tinggi yang dicapai oleh orang waro'?”
Gurunya:
“Derajat waro' yang paling tinggi adalah awal derajat kezuhudan”4
E. Keteladanan Al-Muhasibi
Al-Muhasibi, adalah seorang tokoh Sufi yang hidup sejaman dengan
Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali, tokoh Imam Mazhab Fikih Hambali yang
dianut oleh Saudi Arabia yang menjadi induk Wahabi). Imam Akbar Grand
Sheikh Al-Azhar, Prof. Dr. Abdul Halim Mahmoud (Allah Yarham) menulis disertasi
PhD-nya di Universitas Sorbonne, Paris tahun 1946 dibawah bimbingan Orientalis
Pakar Tasawuf Al-Hallaj, Louis Massignon tentang tokoh Sufi tersebut yang
kemudian diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul ‘Al-Harits Al-Muhasibi’.
Kemudian tokoh Sufi tersebut juga dikaji dalam disertasi PhD Van Ess,
Orientalis Takhassus Kajian Mu’tazilah pada tahun 1961. Kedua disertasi
tersebut memfokuskan pada bahasan karya Imam Al-Muhasibi ‘Al-Ria’yah li
Huquq Allah’.
4http://tasawufislam.blogspot.com/2010/06/al-muhasibi.html, diunduh 03/03/2011, 15:07
Sangat menarik sebenarnya pada masa kehidupan Al-Muhasibi (Al-Harits bin
Asad Al-Muhasibi, w. 243 H/857 M), karena pada masa beliau hidup ada empat buah
aliran besar (sebenarnya setiap zaman juga seperti itu, walau tidak
persis-persis amat), yaitu yang pertama banyaknya para Sufi dan ahli tasawuf,
kedua, banyaknya juga kalangan Al-Muhadditsin (yang dimasud adalah para
Fuqaha atau ahli Fiqih), juga perbedaan pendapat beliau dengan para Muhadditsin
tersebut, ketiga, Maraknya Mazhab rasionalis Mu’tazilah pada sat itu,
bahkan menjadi Mazhab resmi negara; menjadi ketokohan beliau berdialog dan
diskusi dengan Kaum Mu’tazilah, dan keempat, maraknya atau munculnya
kamu filosof di dunia Islam saat itu, akibat penerjemahan karya-karya filsafat
Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sehingga menyebabkan diskusim
bahkan perseteruan Al-Muahasibi dengan kaum filosof, diantaranya dengan
Al-Kindi (Abu Yusuf Yakub A-Kindi, w. 252 H.866 M), tokoh filosof pertama di
dunia Islam.
Al-Harits Al-Muhasibi menjadi poros tengah dalam menghadapi berbagai
faham yang berkecamuk pola pemikiran pada masa itu, dimana Khalifah Al-Ma’mun
memberlakukan Mazhab Kalam Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga Imam
Ahmad bin Hanbal memilih penjara ketimbang mengakui bahwa Al-Qur’an ‘hadist’.
(Tengok soal mihnah Imam Hambli), walaupun Al-Muhasibi juga berseberangan faham
dengan Imam Ahmad bin Hanbal; juga dengan semua kelompok pemikiran yang
lain yang berkembang di masa tersebut. Namun Al-Muhasibi dengan
pendekatan ‘al-tawfik’ dapat meberikan jalan keluar yang cerdas bagi pemahaman
agama. Hal yang sama juga dilakukan oleh Al-Kindi dilakangan filosof Muslim dan
pucaknya pada Ibn Rusyd di Andalusia dengan formula ‘al-tawfik’ yang dirintis
oleh Al-Muhasibi dan Al-Kindi tadi, lewat karyanya yang terkanal
yaitu ’Fashl al-Maqal fima bayn al-Hikmah wa al-Syariah minal-Ittishal’.
Apa yang telah dirintis oleh Al-Muhasibi, Al-Kindi dan puncaknya oleh Ibn
Rusyd dengan metode ‘al-tawfik’ tadi bisa menjembatani umat Islam saat ini
dalam berbagai soal perbedaan pendapat ‘khifiyah furu’iyah’ seperti soal
bid’ah itu, dan sebagainya.5
5http://filsafat.kompasiana.com/2010/04/09/belajar-pada-al-harits-al-muhasibi/,
diunduh 03/03/2011, 15:07
III.
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Muhasibi
bernama lengkap Abu Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi
Al-Muhasibi, namun beliau lebih dikenal dengan nama Al-Muhasibi. Beliau
dilahirkan di Bashrah, Irak, pada tahun 165 H/781 M. dan wafat di Bashrah
(Irak) pada tahun 243 H/857 M.
Jalan
keselamatan dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah SWT, melaksanakan
kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-larangan, wara’, dan meneladani
Rasulallah SAW.
Ikhlas
dan ria pada hakikatnya adalah hasrat yang membonceng keinginan beribadah.
Keinginan beribadah adalah hasrat melaksanakan perintah. Ikhlas adalah
mendambakan pahala Allah Swt semata dan tidak peduli dengan keadaan duniawi.
Ria adalah ambisi mendapatkan pujian, kehormatan dan tujuan-tujuan lain dalam
beribadah.
Taubat
adalah menyesali perbuatan buruk (dosa) yang telah dilakukan, meneguhkan hati untuk
tidak melakukannya lagi, dan menjauhi setiap hal yang mendorong pada perbuatan
itu. Yang dapat menguatkan tekad untuk bertaubat ada 3 perkara, yaitu:
1. Mengingat dosa yang lalu, mengurangi makan dan minum (berpuasa).
2. Berupaya sekuat tenaga untuk melaksanakan kemauan taubat sambil
terus-menerus mengingat mati.
3. Berpegang pada 2 perkara di atas dan tidak melupakan keduanya
sehingga memudahkanmu untuk mengingat mati, dosa dan taubat".
Negara Indonesia yang kita cintai ini sedang mengalami krisis moral,
berbagai macam persoalan selalu menghantui. Untuk itu dalam memecahkan segala
permasalahan diperlukan kemampuan mengkaji berbagai pendekatan disiplin
keilmuwan Islam, bukan hanya dari sudut fiqih saja, tapi juga tasawuf, irfani,
filsafat, hadits, tafsir, dan keilmuwan Islamic Studies lainnya.
Semoga kita semuanya belajar sebagaimana dicontohkan oleh Al-Harits
Al-Muhasibi, dan para ulama’-ulama’ lainnya… Amin…
DAFTAR
PUSTAKA
4. http://tasawufislam.blogspot.com/2010/06/al-muhasibi.html
No comments:
Post a Comment