Tuesday, December 10, 2013

AL-MUHASIBI



AL-MUHASIBI


Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Tasawuf
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Abdul Hadi, MA




 











Disusun Oleh:
Nama : Ahmad Khoirul Badar
NIM  : 210 205


 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH/EI
2011


 
AL-MUHASIBI

I.          PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Islam mengajarkan kepada kita, jika ingin menjadi manusia yang lebih baik, maka mulailah dengan instropeksi diri dan kembali kepada Allah SWT. Selain itu, contohlah perbuatan baik dari para pendahulu yang diberi petunjuk oleh Allah SWT.
Menyikapi hal diatas, maka kita dapat melihat riwayat hidup Syekh Al-Al-Muhasibi yang dapat dijadikan sebagai tauladan dalam kehidupan.

B.       Rumusan Masalah
1.    Biografi Singkat Al-Muhasibi
2.    Pandangan Tasawuf Al-Muhasibi
3.    Nasehat-nasehat Al-Muhasibi
4.    Kisah Dialogh Al-Muhasibi Dengan Gurunya
5.    Keteladanan Al-Muhasibi

II.          PEMBAHASAN
A.      Biografi Singkat Al-Muhasibi
Al-Muhasibi bernama lengkap Abu Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi, namun beliau lebih dikenal dengan nama Al-Muhasibi. Beliau dilahirkan di Bashrah, Irak, pada tahun 165 H/781 M. dan wafat di Bashrah (Irak) pada tahun 243 H/857 M. Nama "Al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang telah menuangkan karya mengenai kesadarannya". Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukan antara filsafat dan teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh intelektual yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah karya "Ri'ayah Li Huquq Allah", karya mengenai praktek kehidupan spiritual.1

B.       Pandangan Tasawuf Al-Muhasibi
Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi (w.243 H) menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. Tatkala mengamati madzhab-madzhab yang dianut umat islam. Al-muhasibi menemukan kelompok didalamnya. Diantara mereka ada sekelompok orang yang tahu benar tentang keakhiratan, namun jumlah mereka sangat sedikit. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang mencari ilmu karena kesombongan dan motivasi keduniaan. Diantara mereka terdapat pula orang-orang terkesan sedang melakukan ibadah karena Allah,tetapi sesunguhnya tidak demikian.
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’, dan meneladani Rasulallah. Menurut Al-Muhasibi, tatkala sudah melaksanakan hal-hal diatas, maka seorang akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulallah dan lebih mementingkan akhirat dari pada dunia.
1.    Pandangan Al-Muhasibi tentang ma’rifat
Al-Muhasibi berbicara pula tentang ma’rifat. Ia pun menulis sebuah buku tentangnya, namun, dikabarkan bahwa ia tidak diketahui alasannya kemudian membakarnya. Ia sangat berhati-hati dalam menjelaskan batasa-batasan agama,dan tidak mendalami pengertian batin agama yang dapat mengaburkan pengertian lahirnya dan menyebabkan keraguan. Inilah yanfg mendasarinya untuk memuji sekelompok sufi yang tidak berlebih-lebihan dalam menyelami pengertian batin agama. Dalam konteks ini pula ia menuturkan sebuah hasits Nabi yang berbunyi, “ pikirkanlah makhluk-makhluk Allah dan jangan coba-coba memikirkan Dzat Allah sebab kalian akan tersesat karenanya.” Berdasarkan hadits diatas dan hadis-hadis senada, Al-Muhasibi mengatakan bahwa ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah. Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifat sebagai berikut:

v Taat, awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat, yaitu wujud kongkrit ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah dapat dibuktikan dengan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan kecintaan semata sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Mengekspresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengamalan merupakan kepalsuan semata. Diantara implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi hati dengan sinar. Kemudian sinar ini melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain.
v Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.
v Pada tahap ketiga ini Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.
v Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi dan fana’ yang menyebabkan baqa’.

2.    Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia memasukkan kedua sifat itu dengan etika-etika, keagamaan lainnya.yakni, ketika disifati dengan khauf dan raja’, seseorang secara bersamaan disifati pula oleh sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’ , menurutnya, adalah ketakwaan pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (musabat al-nafs) ; pangkal introspeksi diri adalah khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentanga janji dan ancaman Allah; pangakal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.
Khauf dan raja’, menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan sempurna bila berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-sunnah. Dalam hal ini, ia mengaitkan kedua sifat itu dikaitkan dengan ibadah dan janji serta ancaman Allah. Untuk itu, ia menganggap apa yang diungkapkan ibnu Sina dan Rabi’ah al-‘adawiyyah sebagai jenis fana atau kecintaan kepada Allah yang berlebih lebihan dan keluar dari garis yang telah di jelaskan Islam sendiri serta bertentangan dengan apa yang diyakini para sufi dari kalangan ahlusunnah, Al-muhasibi lebih lanjut mengatakan bahwa Al-quran jelas berbicara tentang pembalasan (pahala) dan siksaan.Ajakan ajakan Al-quran pun sesungguhnya dibangun atas dasar targhib (suggesti) dan tarhib (ancaman).
Raja’, dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal shaleh. Seseorang yang telah melakukan amal saleh, berhak mengharap pahala dari allah. Dan inilah yang dilakukan oleh mukmin yang sejati dan para sahabat Nabi.2

C.      Nasehat-nasehat Al-Muhasibi
Apabila motivasi dalam mengajari dan membantu orang adalah ridha Allah semata, pahala pasti didapat. Tetapi jika motivasinya adalah hasrat untuk dihormati, dikagumi, dipuji dan diberi keuntungan duniawi, jangan lakukan kebaikan itu hingga motivasi anda berubah, sebab apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Qoshosh ayat 60, yang artinya: Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, Maka itu adalah ke- nikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?”
Kalau hati kacau karena kedua motivasi silih berganti mengisi relung hati, jangan memaksakan diri hingga motivasi benar-benar mengharapkan ridha Allah Swt.
Jikalau melakukan ibadah ritual atau ibadah social dengan ikhlas, lalu ada orang yang melihat hingga timbul semangat untuk meningkatkan kualitas ibadah, ada dua kemungkinan :
1.    Kalau motivasi peningkatan kualitas adalah ria,
2.    Kalau motivasinya ikhlas, pasti menjadi pengikhlas sejati.
Apabila ragu dan tidak tahu sedang ria atau masih ikhlas, perbaharuilah niat dengan keikhlasan! Meskipun tidak memperbaharui niat, ibadah tetap sah, karena yakin akan ikhlas dan ragu akan ria.
 

Ikhlas dan ria pada hakikatnya adalah hasrat yang membonceng keinginan beribadah. Keinginan beribadah adalah hasrat melaksanakan perintah. Ikhlas adalah mendambakan pahala Allah Swt semata dan tidak peduli dengan keadaan duniawi. Ria adalah ambisi mendapatkan pujian, kehormatan dan tujuan-tujuan lain dalam beribadah.
Ada orang yang tidak tenang karena dipuji orang atas ibadah yang dilakukannya. Jalan keluarnya adalah mencermati jiwa. Kalau jiwanya tidak suka dan hatinya gelisah ketika dicela, dihina dan dilecehkan masyarakat, jelas ia telah ria. Sebaliknya, jika sikap masyarakat tidak mempengaruhi kalbunya, ia ikhlas. Mungkin pada awalnya ia ria dan senang dipuji, tetapi kemudian terlintas kesadaran untuk mengabaikan pujian, masih bisa dikategorikan ikhlas.3

D.      Kisah Dialogh Al-Muhasibi Dengan Gurunya
Imam Syekh al-Muhasibi bertanya pada gurunya Syekh Abu Ja'far Muhammad ibn Musa, “Wahai Syekh Abu Ja'far, apa yang pertama harus ku lakukan untuk sampai kepada Allah?”
Gurunya menjawab, "Kembali kepada Allah, sebagaimana yang telah dikehendaki-Nya"
Syekh al-Muhasibi bertanya lagi, "Apa makna kembali kepada Allah?"
Gurunya menjawab, "Bertaubat wahai anakku, sebagaimana yang dijelaskan Sa'id ibn Jubair ketika menjelaskan firman Allah, "Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat. (QS. al-Isro' : 25).
Syekh al-Muhasibi bertanya, "Apa makna taubat?"
Gurunya menjawab, "Taubat adalah menyesali perbuatan buruk (dosa) yang telah dilakukan, meneguhkan hati untuk tidak melakukannya lagi, dan menjauhi setiap hal yang mendorong pada perbuatan itu, sebagimana firman Allah SWT dalam surat Al-Imron ayat 135, yang artinya:  “Dan (juga) orang
 

orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri[229], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”
Syekh al-Muhasibi bertanya, "Apa yang harus dilakukan oleh orang yang bertaubat?"
Gurunya menjawab, "Meninggalkan semua perbuatan dosa, memalingkan hati dari hasrat berbuat dosa, meninggalkan sikap munafik demi keuntungan pribadi, menghindari perselisihan dan mengikuti pendapat yang benar meskipun harus rela berkorban, mengembalikan hak-hak orang yang telah diambilnya secara dzalim, dan menunaikan semua kewajibannya baik kepada Allah maupun kepada manusia, Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqoroh ayat 160 yang artinya: “Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang.
Syekh al-Muhasibi bertanya, "Lalu apa yang harus dilakukan setelah itu?"
Gurunya menjawab, "Memperbaiki makanannya (harus makan makanan yang jelas-jelas halal) karena makanan dapat mempengaruhi tingkah laku. Fungsi makanan seperti akal (hati) yang menggerakkan aktivitas raga. Jika akal seseorang baik, maka baik pula seluruh aktivitas raganya. Makanan yang baik (halal dan berkah) akan memudahkan seseorang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang layak dilakukan oleh orang-orang yang taat kepada Allah".
Syekh al-Muhasibi bertanya, "Lalu apa yang harus dilakukan setelah itu?"
Gurunya menjawab, "Menyesali apa yang telah diperbuat dan memperbaiki apa yang akan dilakukan, beristighfar dengan lisan atas dosa-dosa yang telah lalu dan menghilangkan sama sekali keinginan berbuat dosa, berketetapan hati untuk tidak kembali lagi pada perbuatan yang haram, dan menyesali perbuatan dosa yang telah dikerjakan sambil memohon kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Jika hal itu terus-menerus dilakukan, sangat mungkin Allah akan menerima taubatnya"
Syekh al-Muhasibi bertanya, "Apa yang menggerakkan seorang hamba untuk bertaubat? Kapan hatiku ini merasa mantap bahwa taubat diwajibkan atasku? Dan kapan aku merasa takut bahwa taubat akan terlewatkan dariku?
Gurunya menjawab, "Dengan mengenali Allah, seorang hamba akan segera mengetahui kewajiban bertaubat, setelah ia melakukan dosa, Allah SWT berfirman, "Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (QS. An-Nur : 31) dan firman-Nya, "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya)" (QS. At-Tahrim : 8).
Guru Syekh al-Muhasibi (Syekh Abu Ja'far) melanjutkan fatwanya, "Wahai Pemuda, barang siapa yang tidak mengenal Allah, dia tidak akan mampu mengambil pelajaran kebijaksanaan. Tidakkah kamu mendengar Firman Allah, "Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. al-Hujurot : 11). Maka,sesungguhnya Allah telah mewajibkan taubat kepadamu, dan Dia juga mengaitkan kamu dengan kedzaliman, jika kamu tidak meninggalkannya. Oleh karena itu, hendaklah seorang hamba mewajibkan atas dirinya bertaubat dan menakut-nakuti dirinya dengan siksa Allah, jika meninggalkan taubat.”
Syekh al-Muhasibi bertanya, "Apa yang menguatkanku kewajiban bertaubat ini?"
Gurunya menjawab, "Hendaknya hati senantiasa mengetahui bahwa ajal itu sangat dekat dan datangnya kematian adalah secara tiba-tiba. Hati juga dilatih untuk khawatir terhadap harapan ampunan Allah yang belum tentu dikabulkan, dan membiasakan diri untuk takut akan adzab Allah yang segera menimpanya, jika ia terus-menerus mengerjakan perbuatan dosa. Wahai anakku, janganlah kamu menunda taubat, karena sesungguhnya datangnya kematian adalah secara tiba-tiba. Yang dapat menguatkan tekadmu untuk bertaubat ada 3 perkara, yaitu:
1.    Mengingat dosa yang lalu dengan mengurangi makan dan minum (rajin berpuasa).
2.    Berupaya sekuat tenaga untuk melaksanakan kemauan taubat sambil terus-menerus mengingat mati.
3.    Berpegang pada 2 perkara di atas dan tidak melupakan keduanya sehingga memudahkanmu untuk mengingat mati, dosa dan taubat".
Syekh al-Muhasibi bertanya, "Apa yang menggerakkan seseorang untuk bertaubat dan bangkit dari kelengahan?”
Gurunya menjawab, "Hendaklah dia senantiasa berada dalam keadaan takut akan siksa Allah (neraka) dan mengharapkan apa yang dijanjikan-Nya (surga). Sebab Allah SWT menyerukan kepada hamba-hambaNya untuk meraih janji-Nya dan menjauhi ancaman-Nya. Allah SWT menakut-nakuti mereka dengan siksaan yang pedih, dan memotivasi mereka dengan kerinduan memperoleh surga yang dijanjikan. Inilah yang menggerakkan hati seorang hamba untuk bertaubat. Dia juga mengimbau mereka untuk selalu memperbaiki akhlaknya dan keutamaan dirinya."
Syekh al-Muhasibi bertanya,Apa tanda ketulusan dalam taubatnya seseorang?
Gurunya menjawab, “Selalu bersedih atas umur yang telah dihabiskan untuk kesia-siaan dan permainan; selalu khawatir, apakah taubatnya diterima apa tidak; Merasa kurang atas ibadah yang telah dipersembahkan kepada Allah dalam keadaan bersedih hati; Terus bersungguh-sungguh dalam mengerjakan amal soleh sambil merasa takut, jika taubatnya tidak diterima, Bersegera menuju ampunan Allah sambil merasa takut akan bujukan nafsu dan kenikmatan semu perbuatan dosa sehingga bumi menjadi sempit baginya, meskipun (sebenarnya) luas, Mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah karena semua tempat adalah milik-Nya. Allah SWT berfirman, "dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. At-Taubah : 118). Inilah kriteria orang yang bertaubat dengan ketulusan jiwanya".
Syekh al-Muhasibi bertanya, "Adakah yang lain selain itu semua?"
Gurunya menjawab, "Ya, orang yang bertaubat harus memahami bahwa taubat adalah anugerah Allah SWT. Keinginan untuk bertaubat merupakan hidayah dan taufik-Nya, sehingga hati akan teguh melakukan amal saleh karena Allah. Anugrah yang ada dalam taubat berasal dari ruh makrifat-Nya".
Syekh al-Muhasibi bertanya, "Jika telah sampai derajat ini, apakah orang yang bertaubat masih diharuskan melakukan sesuatu?"
Gurunya menjawab, "Ya, dia harus melakukan sesuatu yang tidak boleh ditinggalkannya, yaitu bersyukur kepada Allah atas anugerah taubat itu. Ini adalah suatu karunia utama Allah yang dianugerahkan kepadanya".

Imam masuk ke bab dua setelah materi "Taubat" adalah materi "Kelemahan Jiwa (Fitrah)"
Syekh al-Muhasibi bertanya, "Apa yang terjadi setelah taubat?".
Gurunya menjawab, "Kembali kepada perbuatan dosa yang sama karena kelemahan jiwa untuk menjauhinya (fatrah)".
Syekh al-Muhasibi bertanya, "Wahai Syaikh, bagaimana permulaan terjadinya kelemahan jiwa itu?"
Gurunya menjawab, "Dorongan-dorongan nafsu dan syahwat muncul dalam diri seseorang. Lalu, dorongan-dorongan itu mendapat sambutan dari dalam jiwanya. Kemudian, jiwa itu merasa nyaman dalam keadaan lemah (fatrah), dan akhirnya ia pun meninggalkan ketekunan dan kerja keras dalam menghindari perbuatan dosa.
Syekh al-Muhasibi bertanya, "Bagaimana kelemahan jiwa bisa menjadi kuat?
Gurunya menjawab, "Dari sedikitnya pengetahuan tentang manfaat taubat dan sikap meremehkan anugerah besar (hidayah taubat) yang Allah berikan kepadanya.”
Syekh al-Muhasibi bertanya, "Dari mana seseorang mendapat kelemahan seperti ini?"
Gurunya menjawab, "Dari percampuran hati dengan berbagai kesenangan dunia dan keseringan mengerjakan yang ringan (rukhsoh). Pada saat itu dia cenderung pada kelemahan jiwa (fatrah) dan kelalaian bertaubat, sehingga menjadi tawanan hawa nafsunya."
Syekh al-Muhasibi bertanya, "Apa tanda fatrah itu? dan apakah hati dapat mengenalinya?"
Gurunya menjawab, "Ya, wahai Pemuda, permulaan fatrah adalah kemalasan. Jika ada penjagaan yang kuat, lenyaplah kemalasan itu. jika tidak, kemalasan akan terus meningkat dan timbullah hasrat untuk melakukan perbuatan dosa. jika rasa takutnya menguat, ia akan menjadi penghalang bg dirinya agar tidak kembali pada perbuatan dosa. akan tetapi jika tidak, hasrat kembali untuk melakukan perbuatan dosa akan bertambah kuat, dan dia akan lari dari ketaatan, kecuali jika niat yang kuat untuk kembali kepada ketaatan masih ada dalam hatinya. jika tidak, ia akan menjadi orang yang sesat. Dan kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal semacam itu." "Jika telah tersesat, dia keluar dari rasa takut (kepada Allah) dan masuk ke dalam rasa aman yang menghanyuntukan. lalu, perbuatan dosanya akan meluas hingga ke tempat-tempat yang membinasakan orang banyak. Pada saat itu tersingkaplah tirai keadilan Ilahi karena Dia membeberkan kejelekannya di hadapan semua orang. Hal yang demikian ini terjadi disebabkan oleh sedikitnya introspeksi diri (muhasabah)".

Imam masuk ke bab 3 kitab "al-Qosdu wa al-Rujuu ilaa Allah" yaitu bab muhasabah (Instrospeksi Diri)
Syekh al-Muhasibi, "Apa makna muhasabah (instropeksi diri)?"
Gurunya menjawab, "Akal selalu menjaga nafsu dari pengkhianatannya, mengetahui kekurangan diri, dan menilai baik buruknya perbuatan yang telah dikerjakan"
Syekh al-Muhasibi berkata, "Jelaskanlah kepadaku mengenai muhasabah ini secara detail?"
Gurunya menjawab, "Hadapkanlah semua perbuatan yang telah kamu lakukan di hadapanmu. lalu kamu bertanya, 'mengapa aku harus melakukan ini?' atau katakan kepada dirimu 'siapakah aku yang melakukan perbuatan ini?' maka, jika perbuatan itu karena Allah, teruskanlah perbuatan itu. akan tetapi, jika karena selain-Nya, cegahlah perbuatan itu. celalah dirimu karena ia telah mengikuti dorongan hawa nafsu dan hukumlah ia atas perbuatan itu, dengan demikian kamu akan mengetahui keburukan akalmu dan kamu harus menilai kebodohannya. kamu juga telah mengetahui bahwa nafsu adalah musuhmu karena ia telah menggelincirkanmu dalam dosa dan telah mengajakmu untuk memutuskan hubungan dengan Penciptamu".
Syekh al-Muhasibi : "Dari mana sumber muhasabah itu ?"
Gurunya : "Dari takut akan kekurangan, buruknya kerugian, dan keinginan untuk mendapat kelebihan didalam keuntungan. Teman sejati akan mempertimbangkan kepada siapa dia bergaul karena khawatir mendapatkan kerugian. Dia berharap mendapatkan keuntungan yang berlimpah dari dagangannya. Hal ini seperti yang ditanyakan oleh Nabi Yunus as. kepada salah seorang perempuan ahli ibadah, "Dengan apa kamu mendapatkan kelebihan?" Perempuan ahli ibadah itu menjawab, "Dengan mencari Tuhan dan muhasabah".
Syekh al-Muhasibi: “Apa makna ucapan Umar bin Khottob "Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab ?"
Gurunya : “Instropeksi diri dan mempertimbangkan segala hal yang dapat menjerumuskan jiwa dalam kebathilan, walaupun hanya seberat biji sawi"
Syekh al-Muhasibi: "Apakah buah dari muhasabah (instropeksi diri) itu ?"
Gurunya: "Bertambahnya kepandaian dan kecerdasan dalam memberikan argumentasi. dengan instropeksi pengetahuan seseorang akan bertambah luas. dan ini bergantung pada kecakapan hati dalam mengevaluasi diri".
Syekh al-Muhasibi: "Apa yang dapat menguatkan seorang hamba untuk melakukan muhasabah?"
Gurunya: "Dengan tiga hal, pertama, memutuskan sgl hubungan yang dapat menyibukkan dirinya dari kemauan kuat melakukan muhasabah. sebab orang yang ingin menghitung hutangnya, dia harus mengosongkan hatinya dari setiap kesibukan. Kedua, menyendiri dalam muhasabah sehingga dia khawatir tidak mencapai apa yang diharapkan dari muhasabah itu, dan Ketiga, takut kepada Allah SWT yang akan menanyai perbuatannya yang melampaui batas. Nabi saw. bersabda, "Hendaklah seorang mukmin memerhatikan saat-saat ketika menghisab dirinya (HR. Abu Ya'la dan al-Bazzar dari Abu Hurairah)".
Syekh al-Muhasibi : “Dalam muhasabah, mengapa hati dapat dikalahkan?"
Gurunya : "Karena hawa nafsu dan syahwat mampu menguasainya. Hawa nafsu dan syahwat adalah lawan kearifan, ilmu dan kebenaran. akibatnya, hati dikalahkan dan dibutakan dari kearifan".
Syekh al-Muhasibi: “Beritahukanlah kepadaku tentang hawa nafsu yang dapat menghalangi hati dari muhasabah ?"
Gurunya : "Hawa nafsu yang selalu bergantung pada syahwat dan cenderung pada kesenangan. hawa nafsu ini mempunyai kemampuan melemahkan jiwa dan menguasai hati sehingga mengikuti ajakannya".
Syekh al-Muhasibi : "Bagaimana caranya aku menghukum nafsuku atas dosa yang dilakukannya?"
Gurunya: "Pisahkanlah antara ia dan kesukaannya; ambillah cambuk untuk menakutinya; lakukanlah pengawasan secara terus-menerus setiap gerakannya; kurangilah makanannya; biarkanlah ia dalam kehausan; sibukkanlah ia dengan kerja keras; tahanlah amarahnya dengan ancaman yang memberinya pelajaran. Dengan semua itu, kamu dapat menundukkan kekuatannya dalam melemahkan jiwa dan penguasaannya terhadap hati. Wahai Pemuda, ketahuilah, pada saat itu nafsumu menjadi hina, ia akan tunduk kepadamu setelah kekuatannya lenyap, dan kekuasaannya hilang. dan, ia akan menempuh jalan yang lurus dan konsisten menapakinya (istiqomah) menuju Penciptanya. hanya kepada Allahlah kita memohon pertolongan (taufiq)".
Syekh al-Muhasibi : “Wahai Syekh, Anda telah menerangkan kepadaku tentang melawan hawa nafsu, faktor apakah yang dapat menguatkan seorang hamba untuk mengusir musuh-musuh jiwa, hawa nafsu dan setan?"
Gurunya: "Faktor utama yang paling kuat adalah kesadaran seorang hamba tentang kewajiban yang telah ditetapkan Allah kepadanya, yaitu senantiasa memerangi hawa nafsu. Allah SWT. berfirman, "Sesungguhnya setan adalah musuh bagimu, maka anggaplah dia musuh (QS. Fathir : 6) dan firman-Nya, "Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya setan hanya menyuruh perbuatan yang keji dan mungkar (QS. Nur : 21). Kedua ayat tsb adalah argumentasi yang dapat meneguhkan seseorang dalam memerangi musuh-musuhnya. Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan hamba-hambanya untuk memusuhi setan. dan Dia juga memerintahkan mereka untuk memeranginya. inilah faktor yang menguatkanmu melawan musuhmu. jika kamu lengah, musuhmu akan mengalahkanmu dan menghalangimu beribadah kepada-Nya. Bukankah kamu tahu bahwa Allah telah mewajibkan kamu untuk melawan musuhmu dan memerintahkanmu untuk memeranginya? maka, jika kamu telah mengetahuinya, jiwamu akan teguh melawannya, kemarahanmu akan melemahkan mentalnya, dan perhatianmu dalam mengendalikan nafsumu akan membantu mengalahkannya. Akan tetapi, ingatlah bahwa musuhmu selalu memperbesar peluang untuk menjatuhkanmu. dia akan terus menggodamu sehingga dapat mengalahkanmu. pada saat itu, kamu khawatir akan kemenangannya dalam menggodamu dan mengajakmu pada kemaksiatan yang dipicu oleh nafsumu. baik kamu sadari atau tidak, dia akan berusaha untuk menghancurkanmu, menjatuhkan martabatmu di hadapan Tuhanmu, memburukkan citramu, menghilangkan keyakinanmu, dan melemahkan ketulusanmu untuk melawannya."
Syekh al-Muhasibi : "Jelaskanlah kepadaku perbuatan apa yang dapat menolongku untuk melawan dan menolak godaannya?"
Gurunya : "Pahamilah dan bedakanlah antara dua seruan, yaitu seruan yang berasal dari Allah, dan seruan dari iblis, kemudian, perhatikanlah baik-baik, seruan manakah di antara kedua seruan itu yang lebih utama kamu penuhi. apakah yang lebih layak kamu penuhi adalah seruan yang mengajakmu pada kebinasaan, kerugian sepanjang hidupmu, dan kefakiran yang membuatmu takut mengahadapinya? ataukah yang lebih layak kamu penuhi adalah seruan Tuhan yang telah memberimu kenikmatan yang sejak azali selalu mengingatmu dan tidak pernah melupakanmu sesaat pun. bukankah Dia yang dalam keabadian-Nya mengkhususkanmu dengan keyakinan terhadap yang gaib? bukankah dia yang telah menyerumu untuk meraih surga-Nya dan kemuliaan-Nya? dan untuk menikmati kelembutan kebijaksanaan-Nya dan kesempurnaan nikmat-Nya? Sesungguhnya musuhmu menghendaki terputusnya hubunganmu dengan Allah, Tuhan dan Tuanmu. ia telah memasang banyak perangkap yang dapat menjeratmu dalam dosa dan menjatuhkan citramu sebagai hamba-Nya. di antara perangkap itu adalah prasangka yang buruk, cepat menyerah dan putus asa, keragu-raguan dalam keimanan. Tipu dayanya sangat lihai dan jerat-jeratnya sangat halus dan kuat sehingga ketika ia menipu dan menjeratmu, kamu tidak merasakan bahwa kamu dalam tawanannya. dan kamu pun tidak merasa telah melakukan kesalahan dan dosa."Allah SWT. berfirman, "Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah dan setan telah menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu menghalangi mereka dari jalan) yang benar (sehingga mereka tidak dapat petunjuk” (QS. An-Naml : 24) “Dan (juga) kaum `Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu (kehancuran mereka) dari (puing-puing) tempat tinggal mereka. Dan syaitan menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam.” (QS. Al-Ankabut : 38). Ketahuilah musuhmu ingin menjauhkanmu dari kedekatan dengan Allah, pahala yang banyak dan nikmat-Nya yang utama. ia memberi keraguan dalam dadamu, menghilangkan ketenangan dalam jiwamu dan menciptakan kebingungan dalam hatimu. ia telah mencabut kesabaranmu dan menggantinya dengan kegelisahan. ia telah merebut keridhoanmu atas keputusan-Nya dan menggantikan kebencian kepada-Nya. ia telah melemahkan ketekunanmu dalam beribadah kepada-Nya dan mengganti dengan kemalasan. Musuhmu telah menghalangimu untuk memperoleh keyakinan dan keteguhan dalam jaminan rezeki, kecukupan dan perlindungan Allah karena keimananmu dan ketaatanmu kepada-Nya. ia telah mengajarimu kekikiran, menakut-nakutimu dengan kefakiran dan panjang angan-angan, berburuk sangka terhadap janji Tuhan dan melemahkan niatmu. Ia telah merusak ketetapan-ketetapan hatimu, menunda-nunda keinginanmu untuk bertaubat, menghalangimu dari menyambut seruan Tuhan, dan ingin menjatuhkanmu di sisi Penciptamu Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi."
Syekh Al-Muhasibi: “Mungkinkah seseorang menerima ajakan orang yang membencinya dan menaati orang yang akan membinasakannya?"
Gurunya: “Mungkin, sebab seseorang terkadang tidak cermat dalam meneliti sikap keberagamaannya. ia memahami pokok-pokok agama, tetapi tergelincir karena meremehkan hal-hal kecil yang diutamakan oleh agama. Disebabkan oleh kelalaiannya, ia bisa saja menentang hal-hal yang prinsip dalam agama, dan disebabkan oleh pengetahuannya yang dangkal, ia dapat saja tidak mengetahui kebenaran sejati. Ketika berada dalam keimanan yang kuat, seseorang mungkin akan membenci musuhnya dan meyakini kejahatannya. pada waktu itu, ia tidak akan menerima ajakannya, namun ketika ia lalai, hal sebaliknya dapat saja terjadi. Ingatlah musuh-musuh jiwa (nafsu dan setan) akan selalu membujukmu dan merayumu. mereka akan mendatangimu sambil menunjukkan bukti bahwa melakukan kesalahan-kesalahan ringan tidak berbahaya. Mereka juga meyakinkanmu bahwa mengikuti ajakan dan seruannya tidak membahayakan. lalu hawa nafsumu tertarik untuk mengikuti bujuk rayunya. Ingatlah di saat rayuan musuhmu telah kamu turuti, kamu akan terbiasa melakukan dosa-dosa, lalu kamu akan meremehkan agama dan akhirnya kamu akan menjadi tawanan musuhmu selamanya. Pada waktu itu matamu akan buta dari melihat kearifan, dan telingamu akan tuli dari mendengar kebenaran. kamu akan menjadi abdi setan karena telah mematuhi semua ajakannya. Oleh karena itu enyahkanlah musuhmu; carilah jalan keselamatan dengan senantiasa melawannya dalam semua keadaan. Rayuan, godaan, dan bujukan singkirkanlah! waspadalah terhadap semua tipu dayanya. kemudian berpegang teguhlah pada kewaro'an."

Imam dan sekarang masuk bab 4 dengan bahasan "Waro' "
Syekh al-Muhasibi: “Apa makna waro'?
Gurunya: "Waro' ialah penyelidikan yang dilakukan oleh hati ketika hendak mengerjakan suatu perbuatan sehingga ia dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil"
Syekh al-Muhasibi : “Adakah jawaban lain?
Gurunya: “Ya, menghilangkan apa yang meresahkan hati dan meninggalkan apa yang diragukannya.”
Syekh al-Muhasibi: “Mohon dijelaskan kembali maksud ucapan anda tadi?”
Gurunya: “Hakikat waro' adalah meninggalkan apa yang meragukanmu dan melakukan apa yang meyakinkanmu.”
Syekh al-Muhasibi: “Dari mana sumber waro' itu?”
Gurunya: “Waro' bersumber dari rasa takut (murka Allah).”
Syekh al-Muhasibi: “Apa tanda waro' itu?”
Gurunya: “Meninggalkan penyakit-penyakit hati dan menyelidiki sebab-sebab yang menimbulkannya.”
Syekh al-Muhasibi: “Apa yang menguatkan seseorang untuk berbuat waro'?”
Gurunya: “Takut kepada-Nya. jika takut telah tertanam dalam hatinya, ia akan berbuat waro', yaitu bersikap hati-hati agar perbuatannya tidak menimbulkan dampak negatif.”
Syeh al-Muhasibi: “Keadaan apakah yang menambah rasa takut kepadaNya?”
Gurunya: “Mengetahui kesaksian hati pada kemurkaan Allah dan siksaan-Nya.”
Syekh al-Muhasibi : “Lalu, apa lagi yang dapat menambahnya ?”
Gurunya: “Wahai pemuda, pengetahuan waro' itu bersumber dari makrifat, oleh karena itu, keutamaan waro' bergantung kepada seberapa besar rasa takut yang bersemayam di dalam jiwa seseorang dan seberapa luas pengetahuan yang dimiliki hatinya. dan waro' itu sesuai dengan kadar kobaran rasa takutnya.”
Syekh al-Muhasibi: “Hal apa yang dapat melemahkan sikap waro' ?”
Gurunya: “Kecenderungan kepada dunia, ketamakan, dan hasrat untuk menguasainya. padahal tidak akan merugi orang yang kehilangan dunia”
Syekh al-Muhasibi: “Apa derajat paling tinggi yang dicapai oleh orang waro'?”
Gurunya: “Derajat waro' yang paling tinggi adalah awal derajat kezuhudan”4

E.       Keteladanan Al-Muhasibi
Al-Muhasibi, adalah seorang tokoh Sufi yang hidup sejaman dengan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali, tokoh Imam Mazhab Fikih Hambali yang dianut oleh Saudi Arabia yang menjadi induk Wahabi). Imam Akbar Grand Sheikh Al-Azhar, Prof. Dr. Abdul Halim Mahmoud (Allah Yarham) menulis disertasi PhD-nya di Universitas Sorbonne, Paris tahun 1946 dibawah bimbingan Orientalis Pakar Tasawuf Al-Hallaj, Louis Massignon tentang tokoh Sufi tersebut yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul ‘Al-Harits Al-Muhasibi’. Kemudian tokoh Sufi tersebut juga dikaji dalam disertasi PhD Van Ess, Orientalis Takhassus Kajian Mu’tazilah pada tahun 1961. Kedua disertasi tersebut memfokuskan pada bahasan karya Imam Al-Muhasibi ‘Al-Ria’yah li Huquq Allah’.
 

4http://tasawufislam.blogspot.com/2010/06/al-muhasibi.html, diunduh 03/03/2011, 15:07
Sangat menarik sebenarnya pada masa kehidupan Al-Muhasibi (Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi, w. 243 H/857 M), karena pada masa beliau hidup ada empat buah aliran besar (sebenarnya setiap zaman juga seperti itu, walau tidak persis-persis amat), yaitu yang pertama banyaknya para Sufi dan ahli tasawuf, kedua, banyaknya juga kalangan Al-Muhadditsin (yang dimasud adalah para Fuqaha atau ahli Fiqih), juga perbedaan pendapat beliau dengan para Muhadditsin tersebut, ketiga, Maraknya Mazhab rasionalis Mu’tazilah pada sat itu, bahkan menjadi Mazhab resmi negara; menjadi ketokohan beliau berdialog dan diskusi dengan Kaum Mu’tazilah, dan keempat, maraknya atau munculnya kamu filosof di dunia Islam saat itu, akibat penerjemahan karya-karya filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sehingga menyebabkan diskusim bahkan perseteruan Al-Muahasibi dengan kaum filosof, diantaranya dengan Al-Kindi (Abu Yusuf Yakub A-Kindi, w. 252 H.866 M), tokoh filosof pertama di dunia Islam.
Al-Harits Al-Muhasibi menjadi poros tengah dalam menghadapi berbagai faham yang berkecamuk pola pemikiran pada masa itu, dimana Khalifah Al-Ma’mun memberlakukan Mazhab Kalam Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga Imam Ahmad bin Hanbal memilih penjara ketimbang mengakui bahwa Al-Qur’an ‘hadist’. (Tengok soal mihnah Imam Hambli), walaupun Al-Muhasibi juga berseberangan faham dengan Imam Ahmad bin Hanbal; juga dengan semua kelompok pemikiran yang lain yang berkembang di masa tersebut. Namun Al-Muhasibi dengan pendekatan ‘al-tawfik’ dapat meberikan jalan keluar yang cerdas bagi pemahaman agama. Hal yang sama juga dilakukan oleh Al-Kindi dilakangan filosof Muslim dan pucaknya pada Ibn Rusyd di Andalusia dengan formula ‘al-tawfik’ yang dirintis oleh Al-Muhasibi dan Al-Kindi tadi, lewat karyanya yang terkanal yaitu ’Fashl al-Maqal fima bayn al-Hikmah wa al-Syariah minal-Ittishal’.
Apa yang telah dirintis oleh Al-Muhasibi, Al-Kindi dan puncaknya oleh Ibn Rusyd dengan metode ‘al-tawfik’ tadi bisa menjembatani umat Islam saat ini dalam  berbagai soal perbedaan pendapat ‘khifiyah furu’iyah’ seperti soal bid’ah itu, dan sebagainya.5


 
III.          PENUTUP
Kesimpulan
Al-Muhasibi bernama lengkap Abu Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi, namun beliau lebih dikenal dengan nama Al-Muhasibi. Beliau dilahirkan di Bashrah, Irak, pada tahun 165 H/781 M. dan wafat di Bashrah (Irak) pada tahun 243 H/857 M.

Jalan keselamatan dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah SWT, melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-larangan, wara’, dan meneladani Rasulallah SAW.

Ikhlas dan ria pada hakikatnya adalah hasrat yang membonceng keinginan beribadah. Keinginan beribadah adalah hasrat melaksanakan perintah. Ikhlas adalah mendambakan pahala Allah Swt semata dan tidak peduli dengan keadaan duniawi. Ria adalah ambisi mendapatkan pujian, kehormatan dan tujuan-tujuan lain dalam beribadah.

Taubat adalah menyesali perbuatan buruk (dosa) yang telah dilakukan, meneguhkan hati untuk tidak melakukannya lagi, dan menjauhi setiap hal yang mendorong pada perbuatan itu. Yang dapat menguatkan tekad untuk bertaubat ada 3 perkara, yaitu:
1.    Mengingat dosa yang lalu, mengurangi makan dan minum (berpuasa).
2.    Berupaya sekuat tenaga untuk melaksanakan kemauan taubat sambil terus-menerus mengingat mati.
3.    Berpegang pada 2 perkara di atas dan tidak melupakan keduanya sehingga memudahkanmu untuk mengingat mati, dosa dan taubat".

Negara Indonesia yang kita cintai ini sedang mengalami krisis moral, berbagai macam persoalan selalu menghantui. Untuk itu dalam memecahkan segala permasalahan diperlukan kemampuan mengkaji berbagai pendekatan disiplin keilmuwan Islam, bukan hanya dari sudut fiqih saja, tapi juga tasawuf, irfani, filsafat, hadits, tafsir, dan keilmuwan Islamic Studies lainnya.

Semoga kita semuanya belajar sebagaimana dicontohkan oleh Al-Harits Al-Muhasibi, dan para ulama’-ulama’ lainnya… Amin…
DAFTAR PUSTAKA

4.    http://tasawufislam.blogspot.com/2010/06/al-muhasibi.html




No comments:

Post a Comment