PENGHAYATAN EKSISTENSIAL TERHADAP
RUKUN IMAN
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Ilmu Kalam
Dosen
Pengampu : Ulya, M.Ag
Disusun
Oleh :
1.
Fatma Qomariyah (210 204)
2.
Ah. Khoirul Badar (210 205)
3.
Hera Rindah A. (210 206)
4.
Rina Jumiatun (210 207)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
KUDUS
PRODI/JURUSAN SYARI’AH/EI
2012
PENGHAYATAN EKSISTENSIAL TERHADAP
RUKUN IMAN
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu kalam
dalam perkembangannya menjadi sebuah kajian yang hampir tak bisa ditinggalkan
di dunia pendidikan Islam, termasuk di Indonesia.
Oleh karena
itu kita sebagai umat Islam harus mampu menguraikan latar belakang munculnya
pola penghayatan eksistensial-filosofis sifat-sifat Tuhan. Dan mampu
menjelaskan hakikat penghayatan eksistensial-filosofis sifat-sifat Tuhan. Dan
juga membuktikan dan memberikan argumentasi keterbatasan penghayatan
eksistensial-filosofis sifat-sifat Tuhan, jika dihadapkan dengan kebutuhan
memberdayakan iman, upaya membangun dan memecahkan permasalahan keberagamaan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang melatarbelakangi
munculnya penghayatan eksistensial-filosofis?
2.
Apa yang dimaksud penghayatan
eksistensial filosofis sifat-sifat tuhan : pengertian dan elaborasinya?
3.
Apa yang dimaksud dengan
keterbatasan penghayatan eksistensial-filosofis atas Allah?
II.
PEMBAHASAN
A.
Setting
Sosio-Kultural Munculnya Penghayatan Eksistensial-Filosofis
Sebagaimana
yang telah kita ketahui, bahwa pertama sekali Nabi Muhammad diutus Allah di
alam dunia adalah karena misinya untuk menanamkan keyakinan atas keberadaan
Allah yang satu (iman bi tauhid Allah). Keyakinan tersebut merupakan sendi paling pokok dalam
agama yang dibawa Nabi Muhammad, yaitu agama Islam. Penanaman keyakinan atas
keberadaan Allah diusahakan oleh Nabi agar diikuti umatnya.
Karakter penanaman yang
dituntunkan Nabi sama sekali bukan terbentuk renungan dan bersifat konseptual,
tidak pula bersifat doktriner dan normatif, melainkan penanaman keyakinan atau
iman yang dilakukan Nabi lebih bersifat tuntunan praktis, yaitu bagaimana agar
umatnya dalam merespon keberadaan Allah tersebut mempunyai pengaruh positif
terhadap pembentukan nilai sikap dan pembangunan perilaku.
Kemudian dengan sepeninggal
Nabi, maka hilanglah modal hidup yang selalu dijadikan referensi keberagamaan
umat Islam, padahal kita mengetahui bahwa problema yang dihadapi umat Islam
terus berkembang, takkan pernah usai. Terlebih-lebih semakin bertambah
kuantitas pemeluk Islam yang baru (muallaf), yang berasal dari berbagai
wilayah, dengan membawa latar belakang sosial dan budaya yang beraneka ragam.
Pada sisi yang lain yang
sering juga terjadi adalah adanya debat-debat teologis antara umat Islam dengan
pemeluk agama atau kepercayaan lain, seperti orang-orang madinah, orang-orang
zindik, dan terlebih lagi orang-orang Nasrani di Damaskus tentang kasus-kasus
yang menyangkut kebebasan dan keterpaksaan manusia, al-Qur’an sebagai firman
Allah, termasuk tentang sifat-sifat Tuhan (L. Gardet dan M.M. Annawati,
1981:37-38).
Perlu diketahui bahwa lawan
debat umat Islam waktu itu sudah mempunyai kultur intelektual yang tinggi,
namun mereka kritis dan menolak kebenaran Islam. Kondisi tersebut memaksa umat
Islam untuk merumuskan ulang sistem-sistem kepercayaan mereka dengan sedemikian
rupa sehingga dapat diterima oleh akal lawan dan bahkan diharapkan dapat
menghancurkan argumennya. Dalam konteks ini meniscayakan dilakukan pencangkokan
metode-metode yang lebih rasional oleh umat Islam. Disinilah channel
lain upaya mengakses ide-ide Yunani dalam Islam.
Berangkat dari latar
belakang yang telah terdeskripsikan di atas maka lahirlah respons keberagamaan
baru, yang berbeda dari respons keberagamaan tuntunan Nabi. Corak keberagamaan
baru ini lebih mengedepankan rasio, sehingga nuansanya sangat filosofis dan
spekulatif. Tidak lagi bersifat teknis dan operasional. Corak keberagamaan baru
ini juga mempengaruhi umat Islam dalam merespons keberadaan Tuhan, sehingga
lahirlah doktrin-doktrin baru dan tipe pemahaman baru. Tipe pemahaman baru atas
eksistensial dan sifat-sifat Tuhan dengan pendekatan filosofis-spekulatif
inilah yang akan melahirkan penghayatan eksistensial-filosofis.
Jadi, sesungguhnya tipe
pemahaman eksistensial-filosofis ini terlahir karena keniscayaan sejarah, yakni
sebagai konsekuensi logis atas peremuannya dengan tradisi, budaya, dan pola
pikir Yunani. Juga, karena sebuah keharusan sejarah, yakni ketika umat Islam
dihadapkan pada tantangan dan kebutuhan upaya pembuktian kebenaran agama Islam
di hadapan afiliasi lain yang menolak Islam.[1]
B. Penghayatan Eksistensial
Filosofis Sifat-sifat Tuhan : Pengertian dan Elaborasinya
Penghayan
eksistensial-filosofis atas Allah lahir sebagai implikasi logis dari
sebuah pemahaman terhadap doktrin-doktrin ketuhanan yang memakai pendekatan
filosofis, rasionalistik, dan spekulatif, sebagai anak kandung dari hasil
pergumulan antara tradisi Islam dengan tradisi Yunani.
Pendekatan
filosofis artinya objek pembahasan dikaji secara analitis, kritis, sistematis,
dan mendalam atas dasar logika atau akal, sehingga bersifat rasionalistik.
Sedangkan bersifat spekulatif, karena objek bahasan, memang belum terdapat
pendasaran kepastiannya dalam sumber agama (al-Qur’an dan Hadits).
Penghayatan
eksistensial-filosofis atas Allah, yang lahir dari pemahaman
eksistensial-filosofis atas-Nya,
memposisikan keberadaan Allah sebagai objek bahasan yang akan dikaji secara
mendalam, bagaimana Dia, sehingga diketahui profil-Nya. Pemahaman atas sifat
dan perbuatan Allah pun terjebak pada situasi yang demikian, seperti bagaimana
wujud Allah, seperti apa kalam Allah, dan sebagainya.
Menurut
Wolfson, materi bahasan sifat dan perbuatan Allah masa itu, pada dasarnya
bermuara dan dapat terpetakan menjadi tiga sudut pandang, yaitu sudut pandang
ontologis, sudut pandang semantik, dan sudut pandang logika (Wolfson,
1976:2006).
Sudut pandang
ontologis, menghadapkan problema ini pada pertanyaan-pertanyaan tentang sifat
dan perbuatan Allah yang ada dalam al-Qur’an, misalnya Allah Maha Hidup, Maha
Mengetahui, Maha Berkuasa, yang ini berimplikasi pada kehidupan (hayah),
pengetahuan (‘ilm), kekuasaan (qudrah) Allah sebagai keberadaan
yang tak terpisah dari esensi (dzat)-Nya, tetapi hayah, ‘ilm, qudrah
dan sifat Allah yang lain itu sendiri berbeda dengan esensi (dzat)
Allah.
Dari problem
yang satu ini, diantaranya memunculkan polemik antar kelompok umat Islam
sendiri. Kelompok Mu’tazilah berpendapat Allah mempunyai sifat yang tidak
terpisah dari dzat atau esensi-Nya, sehingga Allah mengetahui, berkuasa,
dan seterusnya adalah dengan dzat atau esensi-Nya, tidak dalam sifat
mengetahui, berkuasa, dan seterusnya. Karena apabila tidak demikian maka akan
menyebabkan adanya banyak kekal, dan konsekuensinya akan bertentangan dengan
ke-Esa-an Allah (Harun Nasution, 1986:136). Berbeda dengan Musabbihah yang
menyerupakan sifat Allah dengan sifat yang dimiliki manusia (al-Baghdadi,tt:225),
juga berbeda dengan Asy’ariyah yang mengatakan bahwa Allah mempunyai sifat,
tetapi sifat-sifat tersebut bukan Allah, tidak pula lain dari Allah. Dengan
demikian, adanya sifat-sifat tersebut tidak akan membawa pada banyak kekal yang
akan mendistorsi ke-Esa-an Allah (Harun Nasution, 1986:136).
Yang penting
untuk diketahui adalah bahwa munculnya permasalahan yang demikian itu, berikut
pemecahannya sebagaimana penjelasan singkat di atas, tidak akan dapat kita
temukan dalam al-Qur’an dan Sunnah, tetapi ini adalah pengaruh dari doktrin
Kristen. (Wolfson, 1976:2006)
Selanjutnya,
sudut pandang semantik telah mengembangkan diskusi-diskusi pemahaman tentang
Allah setelah umat beriman lebih mencermati term-term dalam al-Qur’an yang
melukiskan Allah dalam keserupaan dengan makhluknya. Diskusi ini tumbuh untuk
pertama kalinya ketika umat beriman berhadapan dengan ayat-ayat mutasyabihat,
yaitu ayat-ayat yang mengindikasikan bahwa Allah mempunyai tangan, Allah
mempunyai wajah, Allah mempunyai mata, Allah bersemayam di atas arasy, dan
seterusnya.
Berhadapan
dengan kasus tersebut, juga membawa pada perbedaan pendapat. Ada yang
mewajibkan penakwilan seperti mu’tazilah, ada yang no comment seperti
Asy’ariyah, dan ada yang menyamakannya persis sebagaimana adanya pada manusia
seperti Mujassimah. (Harun Nasution, 1986:137-138)
Kemudian dari
sudut pandang logika, yang tercermin saat seringnya umat Islam menggunakan
proposisi-proposisi logis, upaya merasionalisasikan doktrin-doktrin agama dan
ketuhanan.
Dalam
perspektif ini, Van Ess mencermati adanya keterpengaruhan penggunaan
proposisi-prosisi logika Yunani dalam Islam. Tetpai yang dimaksud bukan oleh
logika Aristoteles (Aristotelian Logic) seperti yang selama ini sering
diduga, melainkan oleh logika Stoa (Stoic Logic). Hal ini nampak sekali,
terutama ketika melihat bagaimana metode yang digunakan umat Islam dalam menetapkan
landasan pembuktian dengan penalaran analogi yang terkenal dengan istilah qiyas
atau istidlal bi al-syahid ‘ala al-ghoib atau commemorative sign,
dalam bahasa logika Stoa. Maksudnya adalah penyimpulan adanya sesuatu yang
terlihat (visible) berkaitan dan berdasarkan pada sebab-sebab atau
hal-hal yang tak terlihat (invisible). (Josef Van Ess, 1992:33-34)
Contoh
yang sering kita dengar tentangnya adalah ketika ditempatkan segala ciptaan
Allah yang ada di langit dan di bumi ini yang bersifat visible sebagai
bukti adanya Allah yang invisible.
Problem-problem
pemahaman keagamaan dan pendapat dari masing-masing kelompok sebagai wujud
respons keberagamaan saat itu, dalam kurun waktu selanjutnya, terfiksasi dalam
sebuah kajian yang bernama Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam.
Apabila
pola pemahaman dengan elaborasi semacam itu yang dimasukkan dan didesakkan
dalam arus kesadaran seseorang, maka yang dihasilkan adalah penghayatan
eksistensial-filosofis atas Allah. Keberhasilan keberagamaan ini akan ditandai
dengan pemerolehan pengertian, yang bersifat kognitif tentang-Nya.[2]
C.
Keterbatasan
Penghayatan Eksistensial-Filosofis Atas Allah
Pengkajian ilmu kalam dan penghayatan
eksistensial-filosofis atas Allah, sebagai anak kandungnya, dengan materi
sedemikian rupa ternyata masih berlanjut hingga kini. Sedangkan perlu diketahui
bahwa problem yang sedang dihadapi umat masa sekarang sudah bergeser sangat
jauh, yakni bukan lagi terkait dengan rasionalisasi doktrin-doktrin agama atau
menghadapi unsur-unsur ke-Yunani-an, akan tetapi lebih dihadapkan pada
penyimpangan-penyimpangan keberagamaan praktis di lapangan, yang mengakibatkan
runtuhnya kualitas keberagamaan umat beriman, bobroknya moral kemanusiaan dan
sikap-sikap sosial.
Apabila
akhirnya nanti, bangunan ilmu yang lahir sebagai reaktor dan respons sudah
tidak match lagi dengan tantangan yang dihadapi atau dengan kata lain,
obat sudah tidak sesuai dengan penyakitnya, maka bangunan ilmu itu akan
kehilangan relevansinya dan menjadi out off date sehingga paradigmanya
perlu digeser atau bahkan di ubah.
Sesungguhnya
ada kelemahan dan keterbatasan yang pasti dari corak pendekatan dan materi
bahas Ilmu Kalam dan penghayatan eksistensial-filosofis atas Allah ini, yaitu
ketidakmampuannya memberikan solusi atas problem-problem keberagamaan yang
sedang dihadapi umat beriman, termasuk juga dia tak akan mampu membangun
keberagamaan umat secara maksimal.
Hal
yang demikian disebabkan Ilmu Kalam dan penghayatan eksistensial-filosofis
atas Allah sangat bersifat teosentris, yang ingin mencapai “wajah”, profil,
esensi Allah, Allah sebagai Allah, atau dalam bahasa filsafatnya adalah being
qua being, tidak dikaitkan dengan problem perilaku manusia, yang merupakan
bagian tak terpisahkan dari keberagamaan.
Perlu
digarisbawahi pula dalam hal ini bahwa usaha mencapai esensi Allah adalah usaha
yang sia-sia belaka, sebab kapanpun dan dimanapun, Allah tetap mukhalafah li
al-chawadits, Allah tak berbentuk, Allah tak berwarna, Allah tak seperti
apa-apa.
Dalam
perspektif di atas, Nabi Muhammad pernah memberi petunjuk bahwa “Berfikirlah
kalian (umatku) tentang ciptaan Allah, janganlah kalian memikirkan esensi
Allah. Apabila kalian memikirkan esensi Allah, maka kalian akan binasa.”
Berdasarkan
imperatif di atas maka patut untuk kita renungkan bersama, bahwa pada kenyataannya,
Nabi Muhammad telah mengingatkan umatnya dimana potensi dan akal pikiran
manusia itu sangat terbatas. Manusia seringkali tak mampu memikirkan ciptaan
Allah, seperti bagaimana alat raspirasi atau alat ekskresi virus, kenapa Allah
membuat ikan hiu, dan seterusnya.
Kalau
ternyata memikirkan ciptaan Allah saja, potensi dan akal pikiran manusia sangat
lemah maka bagaimana akan menyampaikannya pada esensi Allah.[3]***
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tipe pemahaman
eksistensial-filosofis terlahir karena keniscayaan sejarah, yakni sebagai
konsekuensi logis atas peremuannya dengan tradisi, budaya, dan pola pikir
Yunani. Juga, karena sebuah keharusan sejarah, yakni ketika umat Islam
dihadapkan pada tantangan dan kebutuhan upaya pembuktian kebenaran agama Islam
di hadapan afiliasi lain yang menolak Islam.
Pendekatan
filosofis artinya objek pembahasan dikaji secara analitis, kritis, sistematis,
dan mendalam atas dasar logika atau akal, sehingga bersifat rasionalistik.
Sedangkan bersifat spekulatif, karena objek bahasan, memang belum terdapat
pendasaran kepastiannya dalam sumber agama (al-Qur’an dan Hadits)
Sesungguhnya
ada kelemahan dan keterbatasan yang pasti dari corak pendekatan dan materi
bahas Ilmu Kalam dan penghayatan eksistensial-filosofis atas Allah ini. Hal ini
disebabkan Ilmu Kalam dan penghayatan eksistensial-filosofis
atas Allah sangat bersifat teosentris, yang ingin mencapai “wajah”, profil,
esensi Allah, Allah sebagai Allah, atau dalam bahasa filsafatnya adalah being
qua being, tidak dikaitkan dengan problem perilaku manusia, yang merupakan
bagian tak terpisahkan dari keberagamaan.
B.
Penutup
Demikian
makalah yang dapat kami sajikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
menambah khasanah bagi kita semua. Amiin.....
DAFTAR PUSTAKA
Moh. Dzofir, Ulya, dan Adri Efferi, Ilmu Tauhid Amali,
Kudus, 2004
No comments:
Post a Comment