MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN
UMAT
Karya
Ilmiah
Disusun
Guna
Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk
Mengajukan Beasiswa
Disusun
Oleh:
Nama : Ahmad Khoirul Badar
NIM :
210 205
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
SYARI’AH/EI
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Perujukan
terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada
peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi
masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan
dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan dan kesatuan. Adapun cara pelaksanaan
amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan
tutur kata yang baik. Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”,
meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau
peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain,
seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok
lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan
sifat-sifat luhur lainnya.
Kita
juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara
kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya
dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth)
dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada
masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam
hanya menunggu waktu saja.
Berangkat
dari hal di atas, maka penulis memutuskan untuk menyusun karya ilmiah yang
berjudul “Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat.”
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun
rumusan masalah yang diangkat oleh penyusun adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
konsep masyarakat madani?
2.
Bagaimanakah peran
umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani?
3.
Bagaimanakah sistem
ekonomi islam dan kesejahteraan umat?
4. Bagaimanakah
konsep zakat dan wakaf menurut ekonomi islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
DAN KONSEP MASYARAKAT MADANI
Konsep
“masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil
society”. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep
dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Perbedaan antara civil society dan masyarakat madani adalah
civil society merupakan buah modernitas, dan gerakan masyarakat sekuler yang
meminggirkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan
asuhan petunjuk Tuhan. Maka dapat dikatakan masyarakat madani adalah masyarakat
yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam
penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi serta
menjunjung tinggi nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari
wahyu Allah.
1. Masyarakat Madani dalam Sejarah
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah
yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu: Masyarakat Saba’ (masyarakat
di masa Nabi Sulaiman) dan Masyarakat Madinah, perjanjjian Madinah antara
Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi
dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi
kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk, menciptakan kedamaian dalam
kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan
Rasullullah SAW sebagai pemimpin, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya
untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.[1]
2. Karakteristik Masyarakat Madani
Ada
beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
a. Terintegrasinya
individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui
kontrak sosial dan aliansi sosial.
b. Menyebarnya
kekuasaan sehingga terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara.
c. Dilengkapinya
program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
d. Meluasnya
kesetiaan dan kepercayaan dan tidak mementingkan diri sendiri.
e. Damai
dan individu maupun kelompok menghormati pihak lain secara adil.
f. Toleran
dan tolong menolong antar sesama
g. Keseimbangan
antara hak dan kewajiban sosial.
h. Berperadaban
tinggi, misalnya kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.
i. Bertuhan
dan berakhlak mulia.[2]
Meski
Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun
tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan
pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual,
sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani Rasulullah dalam
menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah.
B. PERAN
UMAT ISLAM DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI
Dalam
sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi
pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang
kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan
kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan
terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu
Sina, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
1. Kualitas SDM Umat Islam
Firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran
ayat 110 yang artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang yang fasik.”
Dari ayat di atas sudah jelas bahwa
Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok
manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah
keunggulan kualitas SDM-nya dibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat
Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif, potensial, bukan
riil.
2. Posisi Umat Islam
SDM umat Islam saat ini belum mampu
menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik
dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi,
belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia jumlah umat
Islam ±85% tetapi karena kualitas SDM-nya masih rendah, juga belum mampu
memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini
bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh
nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.
C. SISTEM
EKONOMI ISLAM DAN KESEJAHTERAAN UMAT
Menurut
ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi
haruslah berlandaskan tauhid (keesaan Allah). Dengan demikian realitas dari
adanya hak milik mutlak tidak dapat diterima dalam Islam melainkan hanya milik
Allah saja, sedangkan manusia hanyalah memiliki hak milik nisbi atau relatif.
Pernyataan dan batas-batas hak milik dalam Islam sesuai dengan sistem keadilan
hak-hak semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Islam
mempunyai dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun yang berhak
mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak ada sekelompok orangpun boleh
memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial
ekonomi di kalangan mereka saja. Sebagaimana dalam QS. al-Syu’ara ayat 183,
artinya: “Janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah
kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.”
Dalam
komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi
dan sosial. Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta
konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus
mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam
mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap
orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat. Dalam
Q.S. An-Nahl ayat 71 disebutkan, yang artinya: “Dan Allah melebihkan
sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang
yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada
budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka
Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.”
Dalam
ukuran tauhid, seseorang boleh menikmati penghasilannya sesuai dengan
kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya harus dibelanjakan sebagai
sedekah karena Alah. Sebagaimana Firman Allah dalam QS. An-nisa ayat 114, yang
artinya: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka,
kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah,
atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan
barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak
kami memberi kepadanya pahala yang besar.”
Dalam
ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu
hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia dalam
masyarakat. Dengan melaksanakan kedua hubungan itu dengan baik, maka hidup
manusia akan sejahtrera baik di dunia maupun di akhirat kelak. Amiin....
D. MANAJEMEN
ZAKAT
1. Pengertian dan Dasar Hukum Zakat
Zakat dibebankan atas harta yang telah
mencapai nisab dan haul kepada orang yang berhak menerimanya dengan
syarat-syarat tertentu. Zakat juga berarti kebersihan, setiap pemeluk Islam
yang mempunyai harta cukup banyaknya menurut ketentuan (nisab) zakat, wajiblah
mengeluarkan zakatnya.
Dari sudut bahasa, kata zakat berasal
dari kata “zaka” yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Menurut istilah
fikih zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk
diserahkan kepada yang berhak. Orang yang wajib zakat disebut “muzakki”,sedangkan
orang yang berhak menerima zakat disebut ”mustahiq.” Zakat merupakan
pengikat solidaritas dalam masyarakat dan mendidik jiwa untuk mengalahkan
kelemahan dan mempraktikan pengorbanan diri serta kemurahan hati.
Allah telah berfirman dalam QS. al-Baqarah
ayat 110, yang artinya: “Dan Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan
kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat
pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu
kerjakan”.
Adapun harta-harta yang wajib dizakati
itu yaitu: harta berharga, hasil pertanian, binatang ternak, harta perdagangan,
harta galian (harta rikaz).
Sedangkan orang-orang yang berhak
menerima zakat adalah: Fakir, Miskin, Amil, Muallaf, Riqab, Gharim, Fi
sabilillah, Ibnussabil.[3]
2. Sejarah Pelaksanaan Zakat di Indonesia
Sejak Islam memasuki Indonesia, zakat,
infak, dan sedekah merupakan sumber-sumber dana untuk pengembangan ajaran
Islam. Pemerintah Belanda khawatir dana tersebut akan digunakan untuk melawan
mereka jika masalah zakat tidak diatur. Pada tanggal 4 Agustus 1938 pemerintah
Belanda mengeluarkan kebijakan pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan zakat dan
fitrah yang dilakukan oleh penghulu atau naib. Untuk melemahkan kekuatan rakyat
yang bersumber dari zakat itu, pemerintah Belanda melarang semua pegawai dan
priyai pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Hal itu memberikan dampak
yang sangat negatif bagi pelakasanaan zakat di kalangan umat Islam. Hal inilah
yang tampaknya diinginkan Pemerintah Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, di Aceh
satu-satunya badan resmi yang mengurus masalah zakat. Pada masa orde baru
barulah perhatian pemerintah terfokus pada masalah zakat, yang berawal dari anjuran
Presiden Soeharto untuk melaksanakan zakat secara efektif dan efisien serta
mengembangkannya dengan cara-cara yang lebih luas dengan pengarahan yang lebih
tepat. Anjuran presiden inilah yang mendorong dibentuknya badan amil di
berbagai provinsi.
3. Manajemen Pengelolaan Zakat Produktif
Sehubungan pengelolaan zakat yang kurang
optimal, sebagian masyarakat yang tergerak hatinya untuk memikirkan pengelolaan
zakat secara produktif, Pada tahun 1990-an, beberapa perusahaan dan masyarakat
membentuk Baitul Mal atau lembaga yang bertugas mengelola zakat, infak dan
sedekah dari karyawan perusahaan yang bersangkutan dan masyarakat. Sementara
pemerintah juga membentuk Badan Amil Zakat Nasional.
Dalam pengelolaan zakat diperlukan
beberapa prinsip, antara lain:
a. Pengelolaan
harus berlandasakn al Quran dan as Sunnah.
b. Keterbukaan.
c. Menggunakan
manajemen dan administrasi yang tepat.
d. Badan/lembaga
amil zakat harus mengelolah zakat dengan sebaik-baiknya.
Dan amil harus berpegang teguh pada
tujuan pengelolaan zakat, yaitu:
a. Mengangkat
harkat dan martabat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan dan
penderitaan.
b. Membantu
pemecahan masalah yang dihadapi oleh para mustahik
c. Menjembatani
antara yang kaya dan yang miskin dalam suatu masyarakat.
d. Meningkatkan
syiar Islam
e. Mengangkat
harkat dan martabat bangsa dan negara.
f. Mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat.[4]
4. Hikmah Ibadah Zakat
Zakat memiliki hikmah yang besar. Bagi
muzakki zakat berarti mendidik jiwa manusia untuk suka berkorban dan
membersihkan jiwa dari sifat kikir, sombong dan angkuh yang biasanya menyertai
pemilikan harta yang banyak dan berlebih. Bagi mustahik, zakat memberikan
harapan akan adanya perubahan nasib dan sekaligus menghilangkan sifat iri,
dengki dan suudzan terhadap orang-orang kaya, sehingga jurang pemisah antara si
kaya dan si miskin dapat dihilangkan. Dan bagi masyarakat muslim, melalui zakat
akan terdapat pemerataan pendapatan dan pemilikan harta di kalangan umat Islam.
E. MANAJEMEN
WAKAF
Wakaf
di satu sisi berfungsi sebagai ibadah kepada Allah, sedangkan di sisi lain
wakaf juga berfungsi sosial. Dalam fungsinya sebagai ibadah ia diharapkan akan
menjadi bekal bagi si wakif di kemudian hari, sedangkan dalam fungsi sosialnya,
wakaf merupakan aset amat bernilai dalam pembangunan umat.
1. Pengertian Wakaf
Istilah wakaf beradal dari “waqb”
artinya menahan. Sedangkan menurut istilah wakaf ialah memberikan sesuatu
barang guna dijadikan manfaat untuk kepentingan yng disahkan syara’ serta tetap
bentuknya dan boleh dipergunakan diambil manfaatnya oleh orang yang ditentukan
(yang meneriman wakaf). Sebagaimana hadits: Abu Hurairah r.a. menceritakan,
bahwa Rasullullah SAW bersabda, “Jika seorang manusia meninggal dunia, maka
terputuslah masa ia melanjutkan amal, kecuali mengenai tiga hal, yaitu: Sedekah
jariyah (waqafnya) selama masih dipergunakan, ilmunya yang dimanfaatkan
masyarakat, dan anak salehnya yang mendo’akannya.” (Riwayat Muslim).
2. Rukun Wakaf
a. Yang
berwakaf, syaratnya: berhak berbuat kebaikan dan kehendak sendiri
b. Sesuatu
yang diwakafkan, syaratnya: kekal dan milik sendiri.
c. Tempat
berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf itu).
d. Lafadz
wakaf.
3. Syarat Wakaf
a. Ta’bid,
yaitu untuk selama-lamanya/tidak terbatas waktunya.
b. Tanjiz,
yaitu diberikan waktu ijab kabul.
c. Imkan-Tamlik,
yaitu dapat diserahkan waktu itu juga.
4. Hukum Wakaf
Pemberian wakaf tidak dapat ditarik
kembali sesudah diamalkannya. Dan pemberian harta wakaf yang ikhlas karena
Allah akan mendapatkan ganjaran terus-menerus selagi benda itu dapat
dimanfaatkan oleh umum.[5]
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam
mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu pada
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan
masyarakat madani itu dan cara menciptakan suasana pada masyarakat madani
tersebut yang terdapat pada pada zaman Rasullullah.
Selain
memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi manusia
yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri
manusia sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena
semakin besar potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam
maka akan semakin baik pula hasilnya.
Di
dalam Islam mengenal yang namanya zakat, dengan zakat ini kita dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat hingga mencapai derajat yang disebut
masyarakat madani. Selain itu, ada pula wakaf, wakaf selain untuk beribadah
kepada Allah juga dapat berfungsi sebagai pengikat jalinan antara seorang
muslim dengan sesama. Jadi wakaf mempunyai tiga fungsi yakni fungsi ibadah,
fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Insya Allah dengan menjalankan syariat Islam
dengan baik dan teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa ini secara
perlahan.
B. PENUTUP
Demikian karya ilmiah yang dapat penyusun
sajikan. Kritik dan saran yang konstruktif sangat penyusun harapkan demi
perbaikan selanjutnya. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita
semua. Amiiinn..
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Sudarsono, Pokok-pokok
Hukum Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1992.
2.
http://fixguy.wordpress.com/makalah-masyarakat-madani/
(16-11-2011)
Jazakallah bang
ReplyDelete