PRINSIP DASAR ASURANSI
Makalah
Disusun Guna Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah : Asuransi
Syari’ah
Dosen Pengampu : M.
Arif Hakim, M.Ag
Disusun Oleh
Kelas EIPSC7,
Kelompok 2 :
1.
Siti Khotimah (209 166)
2.
Nila Millati (210 145)
3.
Safrotul Awalia (210 202)
4.
Ahmad Khoirul Badar (210 205)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
KUDUS
JURUSAN SYARI’AH/EI
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Usaha asuransi
adalah suatu mekanisme yang memberikan perlindungan pada tertanggung apabila
terjadi resiko di masa mendatang. Apabila resiko tersebut benar-benar terjadi,
pihak tertanggung akan mendapatkan ganti rugi sebesar nilai yang diperjanjikan
antara penanggung dan tertanggung. Mekanisme perlindungan ini sangat dibutuhkan
dalam dunis bisnis yang penuh dengan resiko yang dihadapi. Pada tingkat
kehidupan keluarga atau rumah tangga, asuransi juga dibutuhkan untuk mengurangi
permasalahan ekonomi yang akan dihadapi apabila ada salah satu anggota keluarga
menghadapi resiko cacat atau meninggal.
Sehingga dalam dunia asuransi, baik asuransi kerugian
maupun asuransi jiwa harus memiliki prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman
bagi seluruh penyelenggaraan kegiatan perasuransian yang harus dipenuhi
dimanapun berada.
Berdasarkan
hal diatas, maka dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “Prinsip Dasar
Asuransi (Konv).”
B.
Rumusan Masalah
Dalam makalah
ini rumusan masalah yang akan dibahas, yaitu:
Apa saja
prinsip-prinsip dasar dalam asuransi (konv)? Dan penjelasannya.
BAB II
PEMBAHASAN
PRINSIP DASAR
ASURANSI
Dalam dunia asuransi, baik asuransi kerugian
maupun asuransi jiwa memiliki prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman bagi
seluruh penyelenggaraan kegiatan perasuransian, yaitu insurable interest,
utmost good faith, indemnity, proximate cause, subrogation dan contribution.
A.
Insurable Interest (Kepentingan
yang Dipertanggungkan)
Adalah hak untuk mengasuransikan, yang timbul
dari suatu hubungan keuangan antara tertanggung dengan yang diasuransikan dan
diakui secara hukum.[1]
Darmawi mendefinisikan insurable interest
sebagai hak atau adanya hubungan dengan persoalan pokok dari kontrak, seperti
menderita kerugian finansial sebagai akibat terjadinya kerusakan, atau
kehancuran suatu harta.[2]
Kita dikatakan memiliki kepentingan atas objek
yang diasuransikan apabila menderita kerugian keuangan seandainya terjadi
musibah yang menimbulkan kerugian atau kerusakan atas objek tersebut.
Kepentingan keuangan ini memungkinkan kita mengasuransikan harta benda, dan
apabila terjadi musibah atas obyek yang diasuransikan dan terbukti bahwa kita
tidak memiliki kepentingan keuangan atas obyek tersebut, maka kita tidak berhak
menerima ganti rugi.[3]
Ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi agar
memenuhi kriteria insurable interest, yaitu:
1.
Kerugian
tidak dapat diperkirakan
Resiko yang diasuransikan berkaitan dengan
kemungkinan terjadinya kerugian. Kerugiab tersebut harus dapat diukur,
selanjutnya kemungkinan tersebut tidak dapat diperkirakan terjadi misalnya
kebakaran rumah. Terbakarnya suatu rumah tidak dapat ditentukan sebelumnya
mengenai waktu terjadinya dan penyebabnya. Hal ini berbeda dengan kerusakan
sebuah kemeja karena dipakai, apabila kemeja tersebut dipakai maka lama
kelamaan pasti akan usang dan tidak layak lagi dipakai. Oleh karena itu,
kerusakan sebuah kemeja tidak dapat diasuransikan karena sudah dapat
diperkirakan sebelumnya terjadinya kerusakan kemeja tersebut.
2.
Kewajaran
Resiko yang dipertanggungkan dalam asuransi
adalah benda atau harta yang memiliki nilai material baik bagi penanggung
maupun tertanggung.
3.
Catastrophic
Agar suatu barang atau harta dapat
diasuransikan, resiko yang mungkin terjadi haruslah tidak akan menimbulkan
suatu kemungkinan rugi yang sangat besar, yaitu jika sebagian besar
pertanggungan kemungkinan akan mengalami kerugian pada waktu yang bersamaan.
4.
Homogen
Untuk memenuhi syarat dapat diasuransikan,
barang atau harta yang akan dipertanggungkan harus homogen, yang berarti banyak
barang yang serupa atau sejenis. Banyaknya barang yang sejenis ini berkaitan
dengan prinsip bahwa asuransi menutup sejumlah besar resiko supaya dapat
membayar beberapa kerugian dari yang dipertanggungkan.[4]
B.
Utmost Good Faith (Iktikad Baik)
Adalah suatu tindakan untuk mengungkapkan
secara akurat dan lengkap, semua fakta yang material mengenai sesuatu yang akan
diasuransikan baik diminta maupun tidak. Artinya si penanggung harus dengan
jujur menerangkan dengan jelas segala sesuatu tentang luasnya syarat dan
kondisi dari asuransi dan si tertanggung juga harus memberikan keterangan yang
jelas dan benar atas obyek atau kepentingan yang dipertanggungkan.[5]
Utmost good faith adalah bahwa kita berkewajiban memberitahukan
sejelas-jelasnya dan dengan teliti mengenai segala fakta-fakta penting yang
berkaitan dengan obyek yang diasuransikan.[6] Prinsip inipun menjelaskan
risiko-risiko yang dijamin maupun yang dikecualikan, segala persyaratan dan
kondisi pertanggungan secara jelas serta teliti.
Kewajiban dari kedua belah pihak untuk
mengungkapkan fakta disebut duty of disclosure. Faktor-faktor yang
melanggar prinsip duty of disclosure adalah:
1.
Nondisclosure, adanya data-data penting yang tidak
diungkapkan sehingga menyalahi utmost good faith.
2.
Concealment, secara sengaja melakukan kebohongan dan tidak
mengungkapkan fakta penting.
3.
Fraudulent
misrepresentation, sengaja
memberikan gambaran yang tidak cocok dengan kondisi riil.
4.
Innocent
misrepresentation, secara
tidak sengaja memberikan gambaran yang salah yang memiliki pengaruh besar dalam
proses asuransi.[7]
C.
Indemnity (Indemnitas/Penggantian
Kerugian)
Adalah suatu mekanisme dimana penanggung
menyediakan kompensasi finansial dalam upayanya menempatkan tertanggung dalam
posisi keuangan yang ia miliki sesaat sebelum terjadinya kerugian (KUHD pasal
252, 253 dan dipertegas dalam pasal 278).
Kebanyakan kontrak asuransi kerugian dan
kontrak asuransi kesehatan merupakan kontrak indemnity atau ‘kontrak
penggantian kerugian’. Penanggung menyediakan penggantian kerugian untuk
kerugian yang nyata diderita tertanggung, dan tidak lebih besar daripada
kerugian ini. Batas tertinggi kewajiban penanggung berdasarkan prinsip ini
adalah memulihkan tertanggung pada ekonomi yang sama dengan posisinya sebelum
terjadi kerugian.[8]
Dengan demikian tertanggung tidak berhak memperoleh ganti rugi lebih besar
daripada kerugian yang diderita.
Contoh:
Harga pasar kendaraan sebesar 100 juta rupiah,
diasuransikan sebesar 100 juta rupiah. Bila terjadi musibah sehingga kendaraan
tersebut:
1.
Hilang,
dan harga pasar kendaraan saat itu:
a.
100 juta
rupiah, maka Anda menerima ganti rugi sebesar 100 juta rupiah;
b.
125 juta
rupiah, maka Anda menerima ganti rugi sebesar nilai yang diasuransikan, yaitu
100 juta rupiah;
c.
75 juta
rupiah, maka Anda menerima ganti rugi sebesar harga pasar, yaitu 75 juta
rupiah.
2.
Rusak
akibat kecelakaan, maka biaya perbaikan, penggantian suku cadang, ongkos kerja
bengkel seluruhnya akan menjadi tanggung jawab kami sehingga maksimum sebesar
100 juta rupiah.[9]
Konsep indemnity adalah mekanisme
penanggung untuk mengompensasi resiko yang menimpa tertanggung dengan ganti
rugi finansial. Prinsip indemnity tidak dapat dilaksanakan dalam
asuransi kecelakaan dan kematian. Dalam kedua jenis asuransi tersebut pihak
penanggung tidak dapat mengganti nyawa yang hilang atau anggota tubuh yang
cacat/hilang, karena indemnity berkaitan dengan ganti rugi finansial. Indemnity
ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: pembayaran tunai, penggantian,
perbaikan, dan pembangunan kembali.[10]
D.
Proximate Cause (Kausa Proksimal)
Adalah suatu penyebab aktif, efisien yang mengakibatkan
terjadinya suatu peristiwa secara berantai atau berurutan tanpa intervensi
suatu ketentuan lain, diawali dan bekerja dengan aktif dari suatu sumber baru
dan independen.[11]
Apabila kepentingan yang diasuransikan
mengalami musibah atau kecelakaan, maka pertama-tama dicari sebab-sebab yang
aktif dan efisien yang menggerakkan suatu rangkaian peristiwa tanpa terputus
sehingga pada akhirnya terjadilah musibah atau kecelakaan tersebut. Suatu
prinsip yang digunakan untuk mencari penyebab kerugian yang aktif dan efisien
adalah: "Unbroken Chain of Events" yaitu suatu rangkaian mata rantai
peristiwa yang tidak terputus. Sebagai contoh, kasus klaim kecelakaan diri
sebagai berikut:
1.
Seseorang
mengendarai kendaraannya di jalan tol dengan kecepatan tinggi sehingga mobil
tidak terkendali dan terbalik;
2.
Korban
luka parah dan dibawa ke rumah sakit;
3.
Tidak
lama kemudian korban meninggal dunia.
Dari peristiwa tersebut diketahui bahwa kausa
proksimalnya adalah korban mengendarai kendaraan dengan kecepatan tinggi
sehingga mobil tidak terkendali dan terbalik. Melalui kausa proksimal akan
dapat diketahui apakah penyebab terjadinya musibah atau kecelakaan tersebut
dijamin dalam kondisi polis asuransi atau tidak.[12]
E.
Subrogation (Subrogasi)
Prinsip subrogasi diatur dalam pasal 284 kitab
Undang-Undang Hukum Dagang, yang berbunyi: "Apabila seorang penanggung
telah membayar ganti rugi sepenuhnya kepada tertanggung, maka penanggung akan
menggantikan kedudukan tertanggung dalam segala hal untuk menuntut pihak ketiga
yang telah menimbulkan kerugian pada tertanggung".
Subrogation pada
prinsipnya merupakan hak penanggung yang telah memberikan ganti rugi kepada
tertanggung untuk menuntut pihak lain yang mengakibatkan kepentingan
asuransinya mengalami suatu peristiwa kerugian.[13]
Pada umumnya, seseorang yang menyebabkan suatu
kerugian bertanggung jawab atas kerusakan/kerugian itu. Dalam hubungannya
dengan asuransi, pihak penanggung mengambil alih hak menagih ganti kerugian
pada pihak yang menyebabkan kerugian setelah penanggung melunasi kewajibannya
pada tertanggung.[14] Dengan kata lain, apabila
tertanggung mengalami kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pihak ketiga
maka penanggung setelah memberikan ganti rugi kepada tertanggung akan
menggantikan kedudukan tertanggung dalam mengajukan tuntutan kepada pihak
ketiga tersebut.
Hak subrogasi dibatasi sampai jumlah kerugian
yang dibayarkan oleh penanggung kepada pihak tertanggung. Itu berarti, jika
jumlah yang harus dibayar pihak ketiga misalnya Rp.1.000.000,- sedangkan
pembayaran asuransi hanya Rp.600.000,-. Sebagai ilustrasi akan kita pakai
asuransi mobil. Pada peristiwa tabrakan mobil, pertama penanggung mengambil
alih hak subrogasi, lalu menuntut pembayaran dari pengendara lain yang terlibat
dalam kasus itu.[15]
F.
Contribution (Kontribusi)
Adalah hak penanggung untuk mengajak penanggung
lainnya yang sama-sama menanggung, tetapi tidak harus sama kewajibannya
terhadap tertanggung untuk ikut memberikan indemnity.[16] Tertanggung dapat saja
mengasuransikan harta benda yang sama pada beberapa perusahaan asuransi. Namun
bila terjadi kerugian atas obyek yang diasuransikan maka secara otomatis
berlaku prinsip kontribusi. Prinsip kontribusi berarti bahwa apabila penanggung
telah membayar penuh ganti rugi yang menjadi hak tertanggung, maka penanggung
berhak menuntut perusahaan-perusahaan lain yang terlibat suatu penanggungan
(secara bersama-sama menutup asuransi harta benda milik Anda) untuk membayar
bagian kerugian masing-masing yang besarnya sebanding dengan jumlah
pertanggungan yang ditutupnya.
Contoh:
Anda mengasuransikan satu unit bangunan rumah
tinggal seharga 100 juta rupiah kepada tiga perusahaan asuransi:
1. PT
Asuransi A = Rp.100.000.000,-
2. PT
Asuransi B = Rp. 50.000.000,-
3. PT
Asuransi C = Rp. 50.000.000,-
Total = Rp.200.000.000,-
Bila bangunan tersebut terbakar habis
(mengalami kerugian total) maka maksimum ganti rugi yang Anda peroleh dari:
1. PT
Asuransi A = (Rp.100.000.000,-/Rp.200.000.000,-)
x Rp.100.000.000,-
=
Rp.50.000.000,-
2. PT
Asuransi B = (Rp.50.000.000,-/Rp.200.000.000,-)
x Rp.100.000.000
=
Rp.25.000.000,-
3. PT
Asuransi C = (Rp.50.000.000,-/Rp.200.000.000,-)
x Rp.100.000.000
=
Rp.25.000.000,-
Total =
Rp.100.000.000,-
Berarti jumlah ganti rugi yang Anda terima dari
ke-3 perusahaan asuransi tersebut bukanlah Rp.200.000.000,- melainkan
Rp.100.000.000,- sesuai dengan harga rumah sebenarnya.[17]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam dunia asuransi, baik asuransi kerugian
maupun asuransi jiwa memiliki prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman bagi
seluruh penyelenggaraan kegiatan perasuransian, yaitu:
1.
Insurable
interest, adalah
hak untuk mengasuransikan, yang timbul dari suatu hubungan keuangan antara
tertanggung dengan yang diasuransikan dan diakui secara hukum
2.
Utmost
good faith, adalah
suatu tindakan untuk mengungkapkan secara akurat dan lengkap, semua fakta yang
material mengenai sesuatu yang akan diasuransikan baik diminta maupun tidak
3.
Indemnity,
adalah suatu mekanisme dimana penanggung
menyediakan kompensasi finansial dalam upayanya menempatkan tertanggung dalam
posisi keuangan yang ia miliki sesaat sebelum terjadinya kerugian
4.
Proximate
cause, adalah
suatu penyebab aktif, efisien yang mengakibatkan terjadinya suatu peristiwa
secara berantai atau berurutan tanpa intervensi suatu ketentuan lain, diawali
dan bekerja dengan aktif dari suatu sumber baru dan independen.
5.
Subrogation,
merupakan hak penanggung yang telah memberikan
ganti rugi kepada tertanggung untuk menuntut pihak lain yang mengakibatkan
kepentingan asuransinya mengalami suatu peristiwa kerugian
6.
Contribution,
adalah hak penanggung untuk mengajak penanggung
lainnya yang sama-sama menanggung, tetapi tidak harus sama kewajibannya
terhadap tertanggung untuk ikut memberikan indemnity
Demikian
makalah yang dapat kami sajikan. Kritik dan saran yang konstruktif sangat kami
harapkan demi perbaikan selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan dapat menambah khasanah pengetahuan, manfaat untuk kita semua. Amiiinn..
DAFTAR PUSTAKA
1.
AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum
Islam, Kencana, Jakarta, 2004
2.
Herman Darmawi, Manajemen Asuransi, Bumi Aksara,
Jakarta, 2001, Cet. ke-3
3.
Totok Budisantoso dan Sigit Triandaru, Bank dan
Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta, 2006
[2]
Herman Darmawi, Manajemen Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, Cet.
ke-3, hlm. 68
[3]
AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Kencana, Jakarta,
2004, hlm. 78
[4]
Totok Budisantoso dan Sigit Triandaru, Bank dan Lembaga Keuangan Lain,
Salemba Empat, Jakarta, 2006, hlm. 180-181
[6]
AM. Hasan Ali, Op. Cit, hlm. 78
[7]
Totok Budisantoso dan Sigit Triandaru, Op. Cit, hlm. 181
[8]
Herman Darmawi, Op. Cit, hlm. 67
[9]
AM. Hasan Ali, Op. Cit, hlm. 80
[10]
Totok Budisantoso dan Sigit Triandaru, Op. Cit, hlm. 182
[11]
Totok Budisantoso dan Sigit Triandaru, Op. Cit, hlm. 182
[12]
AM. Hasan Ali, Op. Cit, hlm. 83-84
[13]
Totok Budisantoso dan Sigit Triandaru, Op. Cit, hlm. 182
[14]
Herman Darmawi, Op. Cit, hlm. 69
[15]
AM. Hasan Ali, Op. Cit, hlm. 81
[17]
AM. Hasan Ali, Op. Cit, hlm. 82-83
Nice Info
ReplyDelete