KEBIJAKAN MONETER DALAM
EKONOMI ISLAM
PENDAHULUAN
Keadilan sosio ekonomi,
salah satu sisi yang paling menonjol dari suatu masyarakat Islam yang
diharapkan menjadi suatu jalan hidup (way of life) dan bukan sebagai
fenomena yang terisolasi, semangat ini harus menembus seluruh interaksi
manusia, sosial, ekonomi, dan politik.
Ketidakadilan di suatu
daerah telah tersebar ke daerah, satu lembaga yang salah tidak mungkin bisa
mempengaruhi yang lain, bahkan dibidang bisnis dan ekonomi, semua nilai harus
bergerak kearah keadilan sehingga secara keseluruhan mendukung bukan melemahkan
apalagi menghilangkan, keadilan sosio ekonomi.
Di antara ajaran Islam
yang paling penting untuk menegakkan keadilan dan membatasi eksploitasi dalam
transaksi bisnis adalah pelarangan semua bentuk upaya “memperkaya diri secara
tidak sah (aql amwal al-nas bi al-batil) Al-qur’an dengan tegas memerintahkan
kaum muslimin untuk tidak saling berebut harta secara batil atau dengan cara
yang tidak dapat dibenarkan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 188 yang
berbunyi:
وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم
بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ
أَمْوَالِ النَّاسِ بِاْلإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ {البقرة: 188}
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”
Oleh
karena itu, pemakalah tertarik untuk mengupas lebih dalam mengenai pandangan
Islam mengenai kebijakan moneter dalam rangka menjaga keadilan, ketentraman,
dan keharmonisan sosio-ekonomi masyarakat.
BAB II
PEMBHASAN
1.
Pengertian Kebijakan
Moneter
Kebijakan Moneter
adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian melalui
pengaturan jumlah uang beredar. Untuk mengatasi krisis ekonomi yang hingga kini
masih terus berlangsung, disamping harus menata sektor riil, yang tidak kalah
penting adalah meluruskan kembali sejumlah kekeliruan pandangan di seputar
masalah uang. Bila dicermati, krisis ekonomi yang melanda Indonesia, juga
belahan dunia lain, sesungguhnya dipicu oleh dua sebab utama, yang semuanya
terkait dengan masalah uang.
a.
Pertama,
persoalan
mata uang, dimana nilai mata uang suatu negara saat ini pasti terikat dengan
mata uang negara lain (misalnya rupiah terhadap dolar AS), tidak pada dirinya
sendiri sedemikian sehingga nilainya tidak pernah stabil karena bila nilai mata
uang tertentu bergejolak, pasti akan mempengaruhi kestabilan mata uang
tersebut.
b.
Kedua,
kenyataan
bahwa uang tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar saja, tapi juga sebagai
komoditi yang diperdagangkan (dalam bursa valuta asing) dan ditarik keuntungan
(interest) alias bunga atau riba dari setiap transaksi peminjaman atau
penyimpanan uang.[1]
Pengaturan
jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau
mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu:
Kebijakan
moneter ekspansif (Monetary expansive policy)
Adalah
suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini
dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat
(permintaan masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi.
Kebijakan ini disebut juga kebijakan moneter longgar (easy money policy)
Kebijakan
Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy)
Adalah
suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini
dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan
kebijakan uang ketat (tight money policy). [2]
Berkenaan dengan mata uang, Islam memiliki pandangan yang khas.
Abdul Qodim Zallum
mengatakan bahwa sistem moneter atau keuangan adalah sekumpulan kaidah
pengadaan dan pengaturan keuangan dalam suatu negara. Yang paling penting dalam
setiap sistem keuangan adalah penentuan satuan dasar keuangan (al-wahdatu
al-naqdiyatu alasasiyah) dimana kepada satuan itu dinisbahkan seluruh
nilai-nilai berbagai mata uang lain. Apabila satuan dasar keuangan itu adalah
emas, maka sistem keuangan/moneternya dinamakan sistem uang emas. Apabila
satuan dasarnya perak, dinamakan sistem uang perak. Bila satuan dasarnya
terdiri dari dua satuan mata uang (emas dan perak), dinamakan sistem dua logam.
Dan bila nilai satuan mata uang tidak dihubungkan secara tetap dengan emas atau
perak (baik terbuat dari logam lain seperti tembaga atau dibuat dari kertas),
sistem keuangannya disebut sistem fiat money. Dalam sistem dua logam,
harus ditentukan suatu perbadingan yang sifatnya tetap dalam berat maupun
kemurnian antara satuan mata uang emas dengan perak. Sehingga bisa diukur
masing-masing nilai antara satu dengan lainnya, dan bisa diketahui nilai
tukarnya. Misalnya, 1 dinar emas syar'i bertanya 4,25 gram emas dan 1 dirham
perak syar'iy beratnya 2,975 gram perak.
Sistem uang dua logam inilah yang diadopsi oleh Rasulullah SAW. Ketika itu
kendati menggunakan sistem uang dua logam, Rasulullah SAW memang tidak mencetak
dinar dan dirham emas sendiri, tapi menggunakan dinar Romawi dan dirham Persia
(ini juga menunjukkan bahwa sistem uang dua logam tidak eksklusif hanya
dilakukan oleh ummat Islam). Demikian seterusnya, sistem dua logam itu
diterapkan oleh para khalifah hingga masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan
(79H). Baru di masa itulah dicetak dinar dan dirham khusus dengan corak Islam
yang khas. Dengan cara itu, nilai nominal dan nilai intrinsik dari mata uang
dinar dan dirham akan menyatu. Artinya, nilai nominal mata uang yang berlaku
akan dijaga oleh nilai instrinsiknya (nilai uang itu sebagai barang, yaitu emas
atau perak itu sendiri), bukan oleh daya tukar terhadap mata uang lain. Maka,
seberapapun misalnya dollar Amerika naik nilainya, mata uang dinar akan
mengikuti senilai dollar menghargai 4,25 gram emas yang terkandung dalam 1
dinar. Depresiasi (sekalipun semua faktor ekonomi dan non ekonomi yang
memicunya ada) tidak akan terjadi. Sehingga gejolak ekonomi seperti sekarang ini
Insya Allah juga tidak akan terjadi. Penurunan nilai dinar atau dirham memang
masih mungkin terjadi. Yaitu ketika nilai emas yang menopang nilai nominal
dinar itu, mengalami penurunan (biasa disebut inflasi emas). Diantaranya akibat
ditemukannya emas dalam jumlah besar. Tapi keadaan ini kecil sekali
kemungkinannya, oleh karena penemuan emas besar-besaran biasanya memerlukan
usaha eksplorasi dan eksploitasi yang disamping memakan investasi besar, juga
waktu yang lama. Tapi, andaipun hal ini terjadi, emas temuan itu akan segera
disimpan menjadi cadangan devisa negara, tidak langsung dilempar ke pasaran.
Secara demikian pengaruh penemuan emas terhadap penurunan nilai emas di pasaran
bisa ditekan seminimal mungkin.Disinilah pentingnya ketentuan emas sebagai milik
umum harus dikuasai oleh negara.
Secara syar'i pemanfaatan sistem mata uang dua logam juga selaras dengan
sejumlah perkara dalam Islam yang menyangkut uang. Diantaranya tentang nisab
zakat harta yang 20 dinar emas dan 200 dirham perak, larangan menimbun harta (kanzu
al-mal, bukan idzkar atau saving) dimana harta yang dimaksud
disitu adalah emas dan perak, sebagaimanan disebut dalam Surah At Taubah 34.
Juga berkaitan dengan ketetapan besarnya diyat dalam perkara pembunuhan
(sebesar 1000 dinar) atau batas minimal pencurian (1/4 dinar) untuk dapat
dijatuhi hukuman potong tangan. Itu semua menunjukkan bahwa standar keuangan (monetary
standard) dalam sistem keuangan Islam adalah uang emas dan perak.
Untuk menuju sistem uang dua logam, Abdul Qodim Zallum menyarankan sejumlah
hal. Diantaranya, menghentikan pencetakan uang kertas dan menggantinya
dengan uang dua logam dan menghilangkan hambatan dalam ekspor dan impor emas[3].
Pemanfaatan emas sebagai mata uang tentu akan mendorong eksplorasi dan
eksploitasi emas (mungkin secara besar-besaran) untuk mencukupi kebutuhan
transaksi yang semakin meningkat.
2. Sejarah Kebijakan Moneter
Sistem moneter sepanjang zaman telah mengalami banyak perkembangan, sistem
keuangan inilah yang paling banyak di lakukan studi empiris maupun historis
bila di bandingkan dengan disiplin ilmu ekonomi lainnya.sistem keuangan pada
zaman Rosulullah di gunakan bimatalic standard yaitu emas dan perak (dirham dan
dinar) karena keduanya merupakan alat pembayaran yang sah dan beredar di
masyarakat. Nilai tukar emas dan perak pada masa Rosulallah ini relative stabil
dengan nilai kurs dirham-dinar 1:10, namun demikian, setabilitas nilai kurs
pernah mengalami gangguan karena adanya disequilibrium antara supply dan
demand. Misalkan pada masa bani umayyah (41/662-132/750) rasio kurs antara
dinar-dirham 1:12, sedangkan pada masa abbasiyah (132/750-656/1258) berada pada
kisaran 1:15.
Pada masa yang lain nilai tukar dirham-dinar mengalami fluktuasi dengan
nilai oaling rendah pada level 1:35-1:50. Instabilitas dalam nilai tukar yang
ini akan mengakibatkan terjadinya bad coins out of circulations atau kualitas
buruk akan menggantikan uang kualitas baik, dalam literature konvensional
peristiwa ini di sebut hukum Gresham. Seperi yang pernah terjadi pada masa pemerintahan
bany mamluk (1263-1328), dimana mata uang yang beredar tersebut dari fulus
(tembaga) mendesak keberadaan uang logam emas dan perak . oleh ibnu
taimiyah di katakana bahwa uang dengan kualitas rendah akan menendang keluar
uang kualitas baik.
Perkembangan emas sebagai standar dari uang beredar mengalami tiga kali
evolusi yaitu:
a.
The gold cins standard : di mana logam emas mulia sebagai uang yang
aktif dalam peredaran
b.
The gold bullion standard : di mana logam emas sebagai para meter dalam
menentukan nilai tukar uang yang beredar.
c.
The gold exchange standard (bretton woods system): di mana otoritas moneter menentukan nilai tukar
domestic currency dengan foreign currency yang mampu di back-up secara penuh
oleh cadangan emas yang di miliki. Dengan perkembangan sistem keuangan yang
demikian pesat telah memunculkan uang fiducier (kredit money) yaitu uang yang
keberadaannya tidak diback-up oleh emas dan perak
3.
Tujuan
Bank Indonesia
memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan
ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank
Indonesia.
Hal yang dimaksud
dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap
harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan
tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter
dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting
Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating).
Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan
sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan
nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan
untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya,
Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui
penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan
tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara
operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan
instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik
rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan
wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat
melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah. [4]
4.
Instrumen-instrumen Kebijakan Moneter dalam Konvensional
dan Syari’ah.
Ada tiga instrument utama yang digunakan untuk mengatur jumlah uang yang
beredar:
a.
Operasi pasar terbuka (Open Market Operation)
Adalah pemerintah
mengendalikan jumlah uang beredar dengan cara menjual atau membeli surat-surat
berharga milik pemerintah (government security)
b.
Fasilitas diskonto (Discounto Rate)
Yadyang dimaksud dengan
tingkat bunga diskonto adalah tingkat bunga yang ditetapkan pemerintah atas
bank-bak umum yang menjamin ke bank sentral.
c.
Rasio cadangan wajib (Reserve Requirement Ratio)
Penetapan rasoio cadangan
wajib juga dapat mengubah jumlah uang yang beredar. Jika rasio cadangan wajib
diperbesar, maka kemampuan bank memberikan kredit akan lebih kecil disbanding
sebelumnya.
d.
Imbauan Moral (Moral Persuasion)
Dengan imbauan moral,
otoritas moneter mencoba mengarahkan atau mengendalikan jumlah uang beredar. [5]
Secara prinsip, tujuan
kebijakan moneter islam tidak berbeda dengan tujuan kebijakan moneter
konvensional yaitu menjaga stabilitas dari mata uang (baik secara internal
maupun eksternal) sehingga pertumbuhan ekonomi yang merata yang diharapkan dapat tercapai. Stabilitas dalam nilai uang tidak terlepas dari
tujuan ketulusan dan keterbukaan dalam berhubungan dengan
manusia. Hal ini disebutkan AL Qur’an dalam QS.Al.An’am:152
…………وَأَوْفُواْ
الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ…….
“……. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan
adil. …”
Mengenai stabilitas nilai uang juga ditegaskan oleh M. Umar Chapra (Al Quran Menuju
Sistem Moneter yang Adil), kerangka kebijakan moneter dalam
perekonomian Islam adalah stok uang, sasarannya haruslah menjamin bahwa
pengembangan moneter yang tidak berlebihan melainkan cukup untuk sepenuhnya
dapat mengeksploitasi kapasitas perekonomian untuk menawarkan barang dan jasa
bagi kesejahteraan sosial umum.
Walaupun pencapaian
tujuan akhirnya tidak berbeda, namun dalam pelaksanaannya secara prinsip,
moneter syari’ah berbeda dengan yang konvensional terutama dalam pemilihan target dan
instrumennya. Perbedaan yang mendasar antara kedua jenis instrumen tersebut
adalah prinsip syariah tidak membolehkan adanya jaminan terhadap nilai nominal maupun
rate return (suku bunga). Oleh karena itu, apabila dikaitkan dengan target
pelaksanaan kebijakan moneter maka secara otomatis pelaksanaan kebijakan
moneter berbasis syariah tidak memungkinkan menetapkan suku bunga sebagai
target/sasaran operasionalnya. [6]
Adapun instrumen moneter syariah adalah hukum syariah. Hampir
semua instrumen moneter pelaksanaan kebijakan moneter konvensional maupun surat berharga
yang menjadi underlying-nya
mengandung unsur bunga. Oleh karena itu
instrumen-instrumen konvensional yang mengandung unsur bunga (bank rates, discount rate, open
market operation dengan sekuritas bunga yang ditetapkan didepan) tidak dapat
digunakan pada pelaksanaan kebijakan moneter berbasis Islam. Tetapi
sejumlah instrument kebijakan moneter konvensional menurut sejumlah pakar
ekonomi Islam masih dapat digunakan untuk mengontrol uang dan kredit, seperti
Reserve Requirement, overall and selecting credit ceiling, moral suasion and
change in monetary base.
Dalam ekonomi Islam, tidak ada sistem bunga sehingga bank
sentral tidak dapat menerapkan kebijakan discount rate tersebut. Bank
Sentral Islam memerlukan instrumen yang bebas bunga untuk mengontrol kebijakan ekonomi
moneter dalam ekonomi Islam. Dalam hal ini, terdapat
beberapa instrumen bebas bunga yang dapat digunakan oleh bank sentral untuk
meningkatkan atau menurunkan uang beredar. Penghapusan sistem bunga, tidak menghambat
untuk mengontrol jumlah uang beredar dalam ekonomi.
Secara mendasar, terdapat beberapa instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi
Islam, antara lain :[7]
a.
Reserve Ratio
Adalah suatu presentase tertentu dari simpanan bank yang harus dipegang oleh bank sentral, misalnya 5 %. Jika bank sentral ingin
mengontrol jumlah uang beredar, dapat menaikkan RR misalnya dari 5 persen menjadi
20 %, yang dampaknya sisa uang yang ada pada komersial bank menjadi lebih
sedikit, begitu sebaliknya.
b.
Moral Suassion
Bank sentral dapat membujuk bank-bank untuk meningkatkan permintaan kredit sebagai tanggung jawab mereka ketika ekonomi berada dalam keadaan
depresi. Dampaknya, kredit dikucurkan maka uang dapat dipompa ke dalam ekonomi.
c.
Lending Ratio
Dalam ekonomi Islam, tidak ada istilah Lending (meminjamkan),
lending ratio dalam hal ini berarti Qardhul Hasan (pinjaman kebaikan).
d.
Refinance Ratio
Adalah sejumlah proporsi dari pinjaman bebas bunga. Ketika refinance ratio
meningkat, pembiayaan yang diberikan meningkat, dan ketika refinance
ratio turun, bank komersial harus hati-hati karena mereka tidak di dorong untuk memberikan pinjaman.
ratio turun, bank komersial harus hati-hati karena mereka tidak di dorong untuk memberikan pinjaman.
e.
Profit Sharing
Ratio
Ratio bagi keuntungan (profit sharing ratio) harus ditentukan
sebelum memulai suatu bisnis. Bank sentral dapat menggunakan profit
sharing ratio sebagai instrumen moneter, dimana ketika bank sentral ingin
meningkatkan jumlah uang beredar, maka ratio keuntungan untuk nasabah akan
ditingkatkan.
f.
Islamic Sukuk
Adalah obligasi pemerintah, di mana ketika terjadi
inflasi, pemerintah akan mengeluarkan sukuk lebih banyak sehingga uang akan mengalir ke
bank sentral dan jumlah uang beredar akan tereduksi. Jadi sukuk memiliki kapasitas untuk menaikkan atau
menurunkan jumlah uang beredar.
g.
Government Investment Certificate
Penjualan atau
pembelian sertifikat bank sentral dalam kerangka komersial, disebut sebagai
Treasury Bills. Instrumen ini
dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan dijual oleh bank sentral kepada broker
dalam jumlah besar, dalam jangka pendek dan berbunga meskipun kecil. Treasury
Bills ini tidak bisa di terima
dalam Islam, maka sebagai penggantinya diterbitkan pemerintah dengan
sistem bebas
bunga, yang disebut GIC: Government Instrument Certificate.
Beberapa mazhab
instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam, antara lain :
1.
Mazhab pertama
(Iqtishaduna)
Pada masa awal islam
tidak diperlukan suatu kebijakan moneter karena system perbankan hampir tidak
ada dan penggunaan uang sangat minim. Jadi, tidak ada alasan yang memadai untuk
melakukan perubahan-perubahan terhadap penawaran akan uang melalui
diskresioner. Tambahan pula, kredit tidak memiliki peran dalam penciptaan uang
karena kredit hanya digunakan diantara para pedagang. Selain itu, peraturan
pemerintah tentang surat peminjaman (promissory notes) dan instrument negosiasi
(negotiable instruments) dirancang sedemikin sehingga tidak memungkinkan
penciptaan uang.
Promissory
notes atau bill exchange dapat diterbitkan untuk membeli barang dan jasa atau
mendapatkan sejumlah dana segar, namun tidak dapat dimanfaatkan untuk tujuan
kredit. Aturan-aturan tersebut mempengaruhi keseimbangan antara pasar barang
dan pasar uang berdasarkan transaksi tunai. Dalam nasi’a atau aturan transaksi
lainnya, uang yang dibayarkan atau diterima bertujuan mendapatkan komoditas
atau jasa.
Instrument
lain yang pada saat ini digunakan untuk mengatur jumlah peredaran uang serta
mengatur tingkat suku bunga jangka pendek adalah OMO (jual-beli surat berharga
pemerintah) yang belum dikenal pada masa awal pemerintahan islam. Selain itu,
tindakan menaikkan atau menurunkan tingkat suku bunga bertentangan dengan
ajaran islam yang melarang praktek riba.
2.
Mazhab Kedua
(Mainstream)
Tujuan
kebijakan moneter pemerintah adalah maksimisasi alokasi sumber daya untuk
kegiatan ekonomi produktif. Alquran melarang praktek penumpukan uang (money
hoarding) karena membuat uang tersebut tidak memberikan manfaat terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, mazhab ini merancang
sebuah instrument kebijakan yang ditujukan untuk mempengaruhi besar kecilnya
permintaan akan uang (MD) agar dapat dialikasikan pada peningkatan
produktivitas perekonomian secara keseluruhan.
Permintaan
dalam islam dikelompokkan dalam dua motif yaitu motif transaksi (transaction
motive) dan motif berjaga-jaga (precautionary motive). Semakin banyak uang yang
menganggur (iddle) berarti permintaan akan uang untuk berjaga-jaga (MDprec)
semakin besar, sedangkan semakin tinggi pajak yang dikenakan terhadap
uang yang menganggur berbanding terbalik dengan permintaaan akan uang untuk
berjaga-jaga. Dues of iddle fund adalah instrument kebijakan yang
dikenakan pada semua asset produktif yang menganggur.
3.
Mazhab ketiga
(alternative)
System
kebijakan moneter yang dianjurkan oleh mazhab ini adalah syuratiq process yaitu
kebijakan yang diambil berdasarkan musyawarah bersama otoritas sector riil. Menurut
pemikiran mazhab ini, kebijakan moneter adalah repeated games in game theory.
Dalam hal ini, bentuk kurva penawaran dan permintaan akan uang mirip tambang
yang melilit dengan kemiringan (slope) positif akibat knowledge induced
processI dan informant sharing yang baik. Agar lebih jelas, cermati
grafik berikut:
Menurut
mazhab ini, keseimbangan di sector moneter adalah derivasi keseimbangan di
sector riil, sedangkan kebijakan sector moneter adalah harmonisasi dengan
kebijakan sector riil. Perhatikan ilustrasi grafis sebagai berikut:
Menurut
Dr M.A. Choudhury, harmonisasi antara sector riil dan sector moneter
menghasilkan kurva jangka panjang dari MS dan MD yang
berbentuk jalinan tambang, yang mendukung pertumbuhan nasional (Y).[8]
PENUTUP
Kebijakan
Moneter adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian
melalui pengaturan jumlah uang beredar.
Kebijakan
moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: Kebijakan moneter ekspansif (Monetary
expansive policy)
dan Kebijakan
Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy)
Perkembangan emas sebagai standar dari uang beredar mengalami tiga kali
evolusi yaitu:
a.
The gold cins standard : di mana logam emas mulia sebagai uang yang
aktif dalam peredaran
b.
The gold bullion standard : di mana logam emas sebagai para meter dalam
menentukan nilai tukar uang yang beredar.
The gold exchange standard (bretton woods system): di mana otoritas moneter menentukan nilai tukar
domestic currency dengan foreign currency yang mampu di back-up secara penuh
oleh cadangan emas yang di miliki. Dengan perkembangan sistem keuangan yang
demikian pesat telah memunculkan uang fiducier (kredit money) yaitu uang yang
keberadaannya tidak diback-up oleh emas dan perak.
Ada tiga instrument utama yang digunakan untuk mengatur jumlah uang yang
beredar: Operasi pasar terbuka (Open Market Operation), Fasilitas
diskonto (Discounto Rate), Rasio cadangan wajib (Reserve Requirement
Ratio), Imbauan Moral (Moral Persuasion)
Bank
Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun
2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.
Secara mendasar, terdapat beberapa instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi
Islam, antara lain : Reserve Ratio. Moral Suassion, Lending Ratio, Refinance Ratio, Profit Sharing
Ratio, Islamic Sukuk, Government Investment Certificate
REFERENSI
1. Adiwarman
A. Karim, Ekonomi Makro Islam
2.
Anita Rahmawati,
Ekonomi Makro Islam
3.
Muhammad M.Ag.,
Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islami
4. Paul
A. Samuelson & William D.Nordhaus, Ekonomi edisi 12
5. http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter
grafiknya mana ?
ReplyDeletemonggo silahkan download makalah lengkap Kebijakan Moneter dalam Ekonomi Islam
ReplyDeletemantap bg
ReplyDeleteSip
ReplyDelete