Thursday, November 14, 2013

PRINSIP DASAR ASURANSI



PRINSIP DASAR ASURANSI


Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Asuransi Syari’ah
Dosen Pengampu : M. Arif Hakim, M.Ag

 











Disusun Oleh
Kelas EIPSC7, Kelompok 2 :
1.      Siti Khotimah                        (209 166)
2.      Nila Millati                            (210 145)
3.      Safrotul Awalia                     (210 202)
4.      Ahmad Khoirul Badar          (210 205)

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH/EI
2012
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Usaha asuransi adalah suatu mekanisme yang memberikan perlindungan pada tertanggung apabila terjadi resiko di masa mendatang. Apabila resiko tersebut benar-benar terjadi, pihak tertanggung akan mendapatkan ganti rugi sebesar nilai yang diperjanjikan antara penanggung dan tertanggung. Mekanisme perlindungan ini sangat dibutuhkan dalam dunis bisnis yang penuh dengan resiko yang dihadapi. Pada tingkat kehidupan keluarga atau rumah tangga, asuransi juga dibutuhkan untuk mengurangi permasalahan ekonomi yang akan dihadapi apabila ada salah satu anggota keluarga menghadapi resiko cacat atau meninggal.
Sehingga dalam dunia asuransi, baik asuransi kerugian maupun asuransi jiwa harus memiliki prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman bagi seluruh penyelenggaraan kegiatan perasuransian yang harus dipenuhi dimanapun berada.
Berdasarkan hal diatas, maka dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “Prinsip Dasar Asuransi (Konv).”

B.       Rumusan Masalah
Dalam makalah ini rumusan masalah yang akan dibahas, yaitu:
Apa saja prinsip-prinsip dasar dalam asuransi (konv)? Dan penjelasannya.







BAB II
PEMBAHASAN
PRINSIP DASAR ASURANSI

Dalam dunia asuransi, baik asuransi kerugian maupun asuransi jiwa memiliki prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman bagi seluruh penyelenggaraan kegiatan perasuransian, yaitu insurable interest, utmost good faith, indemnity, proximate cause, subrogation dan contribution.
A.      Insurable Interest (Kepentingan yang Dipertanggungkan)
Adalah hak untuk mengasuransikan, yang timbul dari suatu hubungan keuangan antara tertanggung dengan yang diasuransikan dan diakui secara hukum.[1]
Darmawi mendefinisikan insurable interest sebagai hak atau adanya hubungan dengan persoalan pokok dari kontrak, seperti menderita kerugian finansial sebagai akibat terjadinya kerusakan, atau kehancuran suatu harta.[2]
Kita dikatakan memiliki kepentingan atas objek yang diasuransikan apabila menderita kerugian keuangan seandainya terjadi musibah yang menimbulkan kerugian atau kerusakan atas objek tersebut. Kepentingan keuangan ini memungkinkan kita mengasuransikan harta benda, dan apabila terjadi musibah atas obyek yang diasuransikan dan terbukti bahwa kita tidak memiliki kepentingan keuangan atas obyek tersebut, maka kita tidak berhak menerima ganti rugi.[3]
Ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi agar memenuhi kriteria insurable interest, yaitu:
1.         Kerugian tidak dapat diperkirakan
Resiko yang diasuransikan berkaitan dengan kemungkinan terjadinya kerugian. Kerugiab tersebut harus dapat diukur, selanjutnya kemungkinan tersebut tidak dapat diperkirakan terjadi misalnya kebakaran rumah. Terbakarnya suatu rumah tidak dapat ditentukan sebelumnya mengenai waktu terjadinya dan penyebabnya. Hal ini berbeda dengan kerusakan sebuah kemeja karena dipakai, apabila kemeja tersebut dipakai maka lama kelamaan pasti akan usang dan tidak layak lagi dipakai. Oleh karena itu, kerusakan sebuah kemeja tidak dapat diasuransikan karena sudah dapat diperkirakan sebelumnya terjadinya kerusakan kemeja tersebut.
2.         Kewajaran
Resiko yang dipertanggungkan dalam asuransi adalah benda atau harta yang memiliki nilai material baik bagi penanggung maupun tertanggung.
3.         Catastrophic
Agar suatu barang atau harta dapat diasuransikan, resiko yang mungkin terjadi haruslah tidak akan menimbulkan suatu kemungkinan rugi yang sangat besar, yaitu jika sebagian besar pertanggungan kemungkinan akan mengalami kerugian pada waktu yang bersamaan.
4.         Homogen
Untuk memenuhi syarat dapat diasuransikan, barang atau harta yang akan dipertanggungkan harus homogen, yang berarti banyak barang yang serupa atau sejenis. Banyaknya barang yang sejenis ini berkaitan dengan prinsip bahwa asuransi menutup sejumlah besar resiko supaya dapat membayar beberapa kerugian dari yang dipertanggungkan.[4]

B.       Utmost Good Faith (Iktikad Baik)
Adalah suatu tindakan untuk mengungkapkan secara akurat dan lengkap, semua fakta yang material mengenai sesuatu yang akan diasuransikan baik diminta maupun tidak. Artinya si penanggung harus dengan jujur menerangkan dengan jelas segala sesuatu tentang luasnya syarat dan kondisi dari asuransi dan si tertanggung juga harus memberikan keterangan yang jelas dan benar atas obyek atau kepentingan yang dipertanggungkan.[5]
Utmost good faith adalah bahwa kita berkewajiban memberitahukan sejelas-jelasnya dan dengan teliti mengenai segala fakta-fakta penting yang berkaitan dengan obyek yang diasuransikan.[6] Prinsip inipun menjelaskan risiko-risiko yang dijamin maupun yang dikecualikan, segala persyaratan dan kondisi pertanggungan secara jelas serta teliti.
Kewajiban dari kedua belah pihak untuk mengungkapkan fakta disebut duty of disclosure. Faktor-faktor yang melanggar prinsip duty of disclosure adalah:
1.         Nondisclosure, adanya data-data penting yang tidak diungkapkan sehingga menyalahi utmost good faith.
2.         Concealment, secara sengaja melakukan kebohongan dan tidak mengungkapkan fakta penting.
3.         Fraudulent misrepresentation, sengaja memberikan gambaran yang tidak cocok dengan kondisi riil.
4.         Innocent misrepresentation, secara tidak sengaja memberikan gambaran yang salah yang memiliki pengaruh besar dalam proses asuransi.[7]

C.      Indemnity (Indemnitas/Penggantian Kerugian)
Adalah suatu mekanisme dimana penanggung menyediakan kompensasi finansial dalam upayanya menempatkan tertanggung dalam posisi keuangan yang ia miliki sesaat sebelum terjadinya kerugian (KUHD pasal 252, 253 dan dipertegas dalam pasal 278).
Kebanyakan kontrak asuransi kerugian dan kontrak asuransi kesehatan merupakan kontrak indemnity atau ‘kontrak penggantian kerugian’. Penanggung menyediakan penggantian kerugian untuk kerugian yang nyata diderita tertanggung, dan tidak lebih besar daripada kerugian ini. Batas tertinggi kewajiban penanggung berdasarkan prinsip ini adalah memulihkan tertanggung pada ekonomi yang sama dengan posisinya sebelum terjadi kerugian.[8] Dengan demikian tertanggung tidak berhak memperoleh ganti rugi lebih besar daripada kerugian yang diderita.
Contoh:
Harga pasar kendaraan sebesar 100 juta rupiah, diasuransikan sebesar 100 juta rupiah. Bila terjadi musibah sehingga kendaraan tersebut:
1.         Hilang, dan harga pasar kendaraan saat itu:
a.    100 juta rupiah, maka Anda menerima ganti rugi sebesar 100 juta rupiah;
b.    125 juta rupiah, maka Anda menerima ganti rugi sebesar nilai yang diasuransikan, yaitu 100 juta rupiah;
c.    75 juta rupiah, maka Anda menerima ganti rugi sebesar harga pasar, yaitu 75 juta rupiah.
2.         Rusak akibat kecelakaan, maka biaya perbaikan, penggantian suku cadang, ongkos kerja bengkel seluruhnya akan menjadi tanggung jawab kami sehingga maksimum sebesar 100 juta rupiah.[9]
Konsep indemnity adalah mekanisme penanggung untuk mengompensasi resiko yang menimpa tertanggung dengan ganti rugi finansial. Prinsip indemnity tidak dapat dilaksanakan dalam asuransi kecelakaan dan kematian. Dalam kedua jenis asuransi tersebut pihak penanggung tidak dapat mengganti nyawa yang hilang atau anggota tubuh yang cacat/hilang, karena indemnity berkaitan dengan ganti rugi finansial. Indemnity ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: pembayaran tunai, penggantian, perbaikan, dan pembangunan kembali.[10]

D.      Proximate Cause (Kausa Proksimal)
Adalah suatu penyebab aktif, efisien yang mengakibatkan terjadinya suatu peristiwa secara berantai atau berurutan tanpa intervensi suatu ketentuan lain, diawali dan bekerja dengan aktif dari suatu sumber baru dan independen.[11]
Apabila kepentingan yang diasuransikan mengalami musibah atau kecelakaan, maka pertama-tama dicari sebab-sebab yang aktif dan efisien yang menggerakkan suatu rangkaian peristiwa tanpa terputus sehingga pada akhirnya terjadilah musibah atau kecelakaan tersebut. Suatu prinsip yang digunakan untuk mencari penyebab kerugian yang aktif dan efisien adalah: "Unbroken Chain of Events" yaitu suatu rangkaian mata rantai peristiwa yang tidak terputus. Sebagai contoh, kasus klaim kecelakaan diri sebagai berikut:
1.         Seseorang mengendarai kendaraannya di jalan tol dengan kecepatan tinggi sehingga mobil tidak terkendali dan terbalik;
2.         Korban luka parah dan dibawa ke rumah sakit;
3.         Tidak lama kemudian korban meninggal dunia.
Dari peristiwa tersebut diketahui bahwa kausa proksimalnya adalah korban mengendarai kendaraan dengan kecepatan tinggi sehingga mobil tidak terkendali dan terbalik. Melalui kausa proksimal akan dapat diketahui apakah penyebab terjadinya musibah atau kecelakaan tersebut dijamin dalam kondisi polis asuransi atau tidak.[12]

E.       Subrogation (Subrogasi)
Prinsip subrogasi diatur dalam pasal 284 kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yang berbunyi: "Apabila seorang penanggung telah membayar ganti rugi sepenuhnya kepada tertanggung, maka penanggung akan menggantikan kedudukan tertanggung dalam segala hal untuk menuntut pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian pada tertanggung".
Subrogation pada prinsipnya merupakan hak penanggung yang telah memberikan ganti rugi kepada tertanggung untuk menuntut pihak lain yang mengakibatkan kepentingan asuransinya mengalami suatu peristiwa kerugian.[13]
Pada umumnya, seseorang yang menyebabkan suatu kerugian bertanggung jawab atas kerusakan/kerugian itu. Dalam hubungannya dengan asuransi, pihak penanggung mengambil alih hak menagih ganti kerugian pada pihak yang menyebabkan kerugian setelah penanggung melunasi kewajibannya pada tertanggung.[14] Dengan kata lain, apabila tertanggung mengalami kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pihak ketiga maka penanggung setelah memberikan ganti rugi kepada tertanggung akan menggantikan kedudukan tertanggung dalam mengajukan tuntutan kepada pihak ketiga tersebut.
Hak subrogasi dibatasi sampai jumlah kerugian yang dibayarkan oleh penanggung kepada pihak tertanggung. Itu berarti, jika jumlah yang harus dibayar pihak ketiga misalnya Rp.1.000.000,- sedangkan pembayaran asuransi hanya Rp.600.000,-. Sebagai ilustrasi akan kita pakai asuransi mobil. Pada peristiwa tabrakan mobil, pertama penanggung mengambil alih hak subrogasi, lalu menuntut pembayaran dari pengendara lain yang terlibat dalam kasus itu.[15]

F.       Contribution (Kontribusi)
Adalah hak penanggung untuk mengajak penanggung lainnya yang sama-sama menanggung, tetapi tidak harus sama kewajibannya terhadap tertanggung untuk ikut memberikan indemnity.[16] Tertanggung dapat saja mengasuransikan harta benda yang sama pada beberapa perusahaan asuransi. Namun bila terjadi kerugian atas obyek yang diasuransikan maka secara otomatis berlaku prinsip kontribusi. Prinsip kontribusi berarti bahwa apabila penanggung telah membayar penuh ganti rugi yang menjadi hak tertanggung, maka penanggung berhak menuntut perusahaan-perusahaan lain yang terlibat suatu penanggungan (secara bersama-sama menutup asuransi harta benda milik Anda) untuk membayar bagian kerugian masing-masing yang besarnya sebanding dengan jumlah pertanggungan yang ditutupnya.
Contoh:
Anda mengasuransikan satu unit bangunan rumah tinggal seharga 100 juta rupiah kepada tiga perusahaan asuransi:
1.    PT Asuransi A = Rp.100.000.000,-
2.    PT Asuransi B = Rp.  50.000.000,-
3.    PT Asuransi C = Rp.  50.000.000,-
Total                            = Rp.200.000.000,-
Bila bangunan tersebut terbakar habis (mengalami kerugian total) maka maksimum ganti rugi yang Anda peroleh dari:
1.    PT Asuransi A = (Rp.100.000.000,-/Rp.200.000.000,-) x Rp.100.000.000,-
                    = Rp.50.000.000,-
2.    PT Asuransi B = (Rp.50.000.000,-/Rp.200.000.000,-) x Rp.100.000.000
                    = Rp.25.000.000,-
3.    PT Asuransi C = (Rp.50.000.000,-/Rp.200.000.000,-) x Rp.100.000.000
                    = Rp.25.000.000,-
Total                = Rp.100.000.000,-
Berarti jumlah ganti rugi yang Anda terima dari ke-3 perusahaan asuransi tersebut bukanlah Rp.200.000.000,- melainkan Rp.100.000.000,- sesuai dengan harga rumah sebenarnya.[17]




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dalam dunia asuransi, baik asuransi kerugian maupun asuransi jiwa memiliki prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman bagi seluruh penyelenggaraan kegiatan perasuransian, yaitu:
1.        Insurable interest, adalah hak untuk mengasuransikan, yang timbul dari suatu hubungan keuangan antara tertanggung dengan yang diasuransikan dan diakui secara hukum
2.        Utmost good faith, adalah suatu tindakan untuk mengungkapkan secara akurat dan lengkap, semua fakta yang material mengenai sesuatu yang akan diasuransikan baik diminta maupun tidak
3.        Indemnity, adalah suatu mekanisme dimana penanggung menyediakan kompensasi finansial dalam upayanya menempatkan tertanggung dalam posisi keuangan yang ia miliki sesaat sebelum terjadinya kerugian
4.        Proximate cause, adalah suatu penyebab aktif, efisien yang mengakibatkan terjadinya suatu peristiwa secara berantai atau berurutan tanpa intervensi suatu ketentuan lain, diawali dan bekerja dengan aktif dari suatu sumber baru dan independen.
5.        Subrogation, merupakan hak penanggung yang telah memberikan ganti rugi kepada tertanggung untuk menuntut pihak lain yang mengakibatkan kepentingan asuransinya mengalami suatu peristiwa kerugian
6.        Contribution, adalah hak penanggung untuk mengajak penanggung lainnya yang sama-sama menanggung, tetapi tidak harus sama kewajibannya terhadap tertanggung untuk ikut memberikan indemnity
Demikian makalah yang dapat kami sajikan. Kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menambah khasanah pengetahuan, manfaat untuk kita semua. Amiiinn..


DAFTAR PUSTAKA

1.        AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Kencana, Jakarta, 2004
2.        Herman Darmawi, Manajemen Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, Cet. ke-3
3.        Totok Budisantoso dan Sigit Triandaru, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta, 2006







[2] Herman Darmawi, Manajemen Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, Cet. ke-3, hlm. 68
[3] AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Kencana, Jakarta, 2004, hlm. 78
[4] Totok Budisantoso dan Sigit Triandaru, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta, 2006, hlm. 180-181
[6] AM. Hasan Ali, Op. Cit, hlm. 78
[7] Totok Budisantoso dan Sigit Triandaru, Op. Cit, hlm. 181
[8] Herman Darmawi, Op. Cit, hlm. 67
[9] AM. Hasan Ali, Op. Cit, hlm. 80
[10] Totok Budisantoso dan Sigit Triandaru, Op. Cit, hlm. 182
[11] Totok Budisantoso dan Sigit Triandaru, Op. Cit, hlm. 182
[12] AM. Hasan Ali, Op. Cit, hlm. 83-84
[13] Totok Budisantoso dan Sigit Triandaru, Op. Cit, hlm. 182
[14] Herman Darmawi, Op. Cit, hlm. 69
[15] AM. Hasan Ali, Op. Cit, hlm. 81
[17] AM. Hasan Ali, Op. Cit, hlm. 82-83

1 comment: